background image
BAB 1 MENYINGKAP TIPU DAYA & FITNAH KEJI FATWA-FATWA KAUM
SALAFI & WAHABI
KERESAHAN TERHADAP ALIRAN SESAT
Belakangan ini, Indonesia sedang dilanda gelombang besar paham baru keislaman yang
beraneka ragam bentuknya dan sangat menyesatkan. Munculnya sikap-sikap ekslusif dan arogan
dari para pengusung atau pengikut masing-masing paham tersebut telah semakin meresahkan
masyarakat. Merasa diri berhak berupaya mengkaji al-Qur'an atau hadis, merasa diri paling benar
dan yang lain salah, menganggap kesesatan itu hanya Allah yang berhak memvonisnya, dan
menganggap pemahaman umat Islam tentang agama selama ini keliru, semua dalih itu telah
menyebabkan perbedaan pendapat yang memicu perpecahan di kalangan umat Islam.
Para ulama pun tidak tinggal diam, demi menyaksikan "kekacauan" tersebut. Sebagai
wujud tanggung jawab mereka kepada Allah, maka mereka terus berupaya membentengi umat
dari serangan paham-paham sesat tersebut, baik secara perorangan melalui mimbar-mimbar
masjid atau majlis-majlis ta'im, maupun secara lembaga seperti yang dilakukan oleh MUI
(Majelis Ulama Indonesia). Upaya itu mereka wujudkan dalam bentuk penjelasan-penjelasan
atau fatwa-fatwa yang menyatakan bahwa paham-paham tersebut sesat dan menyesatkan.
Meskipun begitu, fatwa-fatwa para ulama terutama MUI (Majelis Ulama Indonesia)
tersebut seringkali menghadapi kendala, baik dari pihak-pihak yang tidak senang dengan fatwa-
fatwa tersebut, maupun dari pihak pemerintah yang tidak selalu siap mengakomodir fatwa-fatwa
itu dengan fasilitas hukum, sehingga para ulama terkesan hanyalah sebagai kumpulan orang-
orang sok tahu yang gemar mempermasalahkan orang lain, sedang fatwa-fatwa mereka tak
ubahnya bagaikan gonggongan anjing yang tidak perlu dihiraukan.
Namun begitu, alhamdulillah, berkat para ulama tersebut, masyarakat banyak yang
terselamatkan dari bahaya kesesatan. Mereka dapat mengenal paham-paham sesat dan
menjauhinya dengan bimbingan fatwa-fatwa mereka. Meski demikian, bukan berarti keresahan
dan perpecahan di kalangan masyarakat Islam dapat hilang dengan mudah. Sistem hukum dan
undang-undang yang sekuler serta pemerintahan yang tidak tegas dalam menindak pelaku
kesesatan, adalah salah satu yang paling mendukung keleluasaan orang-orang berpaham sesat
untuk bertahan dan menyebarluaskan kesesatannya.
Berbeda pendapat adalah hak asasi setiap orang yang dilindungi undang-undang di negara ini.
Sayangnya, karena tidak adanya batasan yang jelas, perbedaan pendapat itu seringkali memasuki
wilayah prinsip dalam agama yang seharusnya dihindari. Malahan agamalah yang sering menjadi
korban empuk argumentasi perbedaan pendapat itu sambil berlindung di balik payung HAM
(Hak Asasi Manusia) yang sekuler. Sehingga sepanjang perbedaan itu masih ada (bahkan
dilindungi), potensi perpecahan pun akan tetap eksis.
background image
TIDAK DIANGGAP SESAT TAPI MERESAHKAN
Dalam pada itu, ada aliran atau paham yang tidak pernah difatwakan oleh lembaga formal
para ulama Indonesia seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia), namun keberadaannya di tengah-
tengah masyarakat Islam Indonesia bahkan di kalangan umat Islam di dunia terbukti sangat
meresahkan. Faham itu bernama Salafi dan Wahabi. Banyak ulama yang secara pribadi bahkan
telah terang-terangan menyatakan faham ini sebagai "masalah" di kalangan umat Islam.
Tidak difatwakan sebagai aliran sesat, tidak selalu berarti lurus dan benar. Sebab
apa yang hakikatnya lurus dan benar seyogyanya tidak memunculkan masalah dalam
prakteknya pada kehidupan sosial, kecuali hanya akan menghadapi tantangan dari orang-
orang kafir atau munafik yang tidak suka terhadap Islam.
Pertanyaannya, mengapa kaum Salafi dan Wahabi ini di satu sisi hampir tidak pernah
"bermasalah" dengan orang-orang kafir, di sisi lain malah gemar sekali "mempermasalahkan"
saudaranya sendiri sesama muslim yang mayoritas tidak sepaham dengan mereka? Bagaimana
mungkin pengakuan mereka sebagai pengikut al-Qur'an & Sunnah Rasulullah Saw. dapat
dibenarkan, sementara sikap mereka bertolak belakang dengan ciri-ciri pengikut Rasulullah Saw.
yang difirmankan oleh Allah Swt., "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
mereka…"(QS. al-Fath: 29)? Ayat al-Qur'an atau hadis Rasulullah Saw. yang manakah yang
menyuruh mereka bersikap "keras" terhadap saudaranya yang muslim?
Berbagai kasus ketidaknyamanan yang disampaikan masyarakat di berbagai wilayah akibat
fatwa-fatwa dan pernyataan kaum Salafi dan Wahabi inilah yang menjadi motivasi kuat bagi
kami untuk membuat buku atau film dakwah ini. Propaganda paham mereka yang lumayan
gencar melalui terbitan buku-buku terjemahan dan siaran Radio seperti Radio Dakta Bekasi
(FM/107 Mhz), Radio Roja' Cileungsi (AM/756 Mhz), dan Radio Fajri Bogor (FM/91,4
Mhz) telah semakin meresahkan. Menganggap sesat amalan orang lain dengan tuduhan bid'ah
dan menganggap hanya diri merekalah yang sejalan dengan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah
Saw. serta Sunnah para Shahabat beliau, menjadi tema utama dakwah mereka. Bahkan dengan
alasan itu mereka berani mengeluarkan fatwa-fatwa atau pernyataan terhadap amalan masyarakat
yang "berbau agama" di mana fatwa-fatwa tersebut tanpa mereka sadari penuh tipu daya dan
fitnah, dan dari sinilah masalahnya dimulai.
Keawaman masyarakat tentang agama telah memberi tempat yang cukup besar bagi mereka
untuk menyebarkan paham Salafi dan Wahabi tersebut, sehingga semakin banyak pengikutnya,
semakin kuat ekslusivisme mereka. Saat seorang muslim sudah tidak menganggap muslim yang
lain sama dengan dirinya, dan saat ia sudah tidak merasa nyaman berkumpul bersama muslim
yang tidak sepaham dengannya, maka mengasingkan diri dan mencari kumpulan orang-orang
yang sepaham dengannya adalah jalan keluarnya. Itulah ekslusivisme; itulah kesombongan; dan
itulah sumber perpecahan.
Lebih ekstrimnya lagi, ketika sudah merasa kuat, propaganda mereka jalankan dengan
terang-terangan, bahkan tak jarang (dan ini terbukti) sampai pada perebutan atau penguasaan
lahan dakwah seperti masjid, musholla, ta'lim di kantor-kantor, atau minimal merintis kumpulan
background image
pengajian tandingan baik di tempat-tempat tersebut maupun di rumah-rumah. Akibatnya, tanpa
disadari mereka sudah menguasai sarana kegiatan dakwah di beberapa komplek perumahan, dan
telah merebut anggota "jama'ah" pengajian para ustadz di wilayah setempat yang berbuntut pada
terganggunya hubungan silaturrahmi antar anggota jama'ah tersebut.
Buku ini dibuat bukan untuk memperbesar jurang perpecahan tersebut, melainkan untuk
memperbaiki keadaan yang tidak nyaman itu dan meluruskan apa yang seharusnya diluruskan
dengan cara menyingkap kekeliruan-kekeliruan pemahaman kaum Salafi dan Wahabi yang
sangat tersembunyi dan hampir tidak pernah disadari oleh para pengikutnya bahkan tokoh-tokoh
ulamanya.
Di satu sisi, melalui buku ini kami berharap agar masyarakat awam yang belum
terpengaruh dapat membentengi diri dari paham yang merusak silaturrahmi ini, di sisi lain kami
juga sangat berharap agar orang-orang yang sudah mengikuti paham Salafi dan Wahabi dapat
menyadari kekeliruannya lalu berusaha memperbaikinya, atau bahkan meninggalkannya. Itulah
kenapa buku ini kami beri judul "MENYINGKAP TIPU DAYA & FITNAH KEJI FATWA-
FATWA KAUM SALAFI & WAHABI".
Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq kepada kita untuk dapat melihat yang benar
sebagai kebenaran dan memberikan kita kekuatan untuk mengikutinya, serta memperlihatkan
yang batil sebagai kebatilan dan memberikan kita kekuatan untuk menjauhkan diri darinya.
Kepada-Nya lah kami berserah diri, dan kepada-Nya lah kami kembali.
SEKILAS TENTANG SALAFI & WAHABI
Salafi atau Salafiyah adalah sebutan untuk kelompok atau paham keagamaan yang
dinisbatkan kepada Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah ( 661 H-728 H) atau yang sering dikenal
dengan panggilan Ibnu Taimiyah. Salafi atau Salafiyah itu sering dipahami sebagai gerakan
untuk kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. beserta para Sahabat beliau.
Wahabi atau Wahabiyah adalah sebutan untuk kelompok atau paham keagamaan yang
dinisbatkan kepada pelopornya yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1702 M-1787 M/
1115 H-1206 H). sebetulnya, nama Wahabi ini tidak sesuai dengan nama pendirinya,
Muhammad, tetapi begitulah orang-orang menyebutnya. Sedangkan para pengikut Wahabi
menamakan diri mereka dengan al-Muwahhiduun (orang-orang yang mentauhidkan Allah),
meskipun sebagian mereka juga mengakui sebutan Wahabi.
Kedua paham di atas, Salafi & Wahabi, sebenarnya memiliki hubungan tidak langsung
yang cukup erat, yaitu bahwa Muhammad bin Abdul Wahab adalah termasuk pengagum Ibnu
Taimiyah dan banyak terpengaruh oleh karya-karya tulis Ibnu Taimiyah. Itulah mengapa kedua
ajaran mereka memiliki kesamaan visi dan misi, yaitu "Kembali kepada Al-Qur'an & Sunnah
Rasulullah Saw. beserta para Sahabat beliau," sehingga apa saja yang "mereka anggap" tidak ada
perintah atau anjurannya di dalam Al-Qur'an, Sunnah, atau atsar Sahabat Nabi Saw., langsung
mereka anggap sebagai bid'ah (perkara baru yang diada-adakan) yang diharamkan dan
background image
dikategorikan sebagai kesesatan, betapapun bagusnya bentuk suatu kegiatan keagamaan tersebut,
dengan dasar hadis Nabi Saw. "… kullu bid'atin dhalalah, wa kullu dhalalatin fin-naar"
(setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan akan dimasukkan ke dalam Neraka).
Dengan visi dan misi inilah maka para pengikut mereka di zaman ini menamai diri mereka
dengan sebutan Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah (penganut Sunnah Nabi Muhammad Saw. & para
Sahabat beliau) yang pada hakikatnya berbeda dari pengertian Ahlus-sunnah wal-Jama'ah yang
dipahami oleh para ulama Islam di dunia (yaitu yang mempunyai hubungan historis dengan al-
Asy'ari dan al-Maturidi ).
Visi "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta para Sahabatnya"
tersebut telah mendorong mereka untuk melaksanakan sebuah misi "memberantas Bid'ah &
Khurafat". Sekilas visi & misi itu terlihat sangat bagus, namun dalam prakteknya ternyata
seringkali menjadi sangat berlebihan. Mengapa? Karena semua bid'ah & khurafat yang
mereka anggap sesat dan wajib diberantas itu mereka definisikan sendiri tanpa
mengkompromikan dengan definisi atau penjelasan para ulama terdahulu. Terbukti, pada
masa hidupnya saja, baik Ibnu Taimiyah maupun Muhammad bin Abdul Wahab, sudah dianggap
"aneh" bahkan cenderung dianggap sesat ajarannya oleh para ulama pengikut empat Mazhab
(Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) yang keseluruhannya menganut paham ahlus-Sunnah wal-
jama'ah.
Hal itu terjadi karena Ibnu Taimiyah kerapkali mengeluarkan fatwa-fatwa ganjil mengenai
aqidah atau syari'at yang menyelisihi ijma' para ulama, sehingga ia sering ditangkap, disidang,
dan dipenjara, sampai-sampai ia wafat di dalam penjara di Damaskus. Dan tercatat ada 60 ulama
besar (baik yang sezaman dengan Ibnu Taimiyah maupun yang sesudahnya) yang menulis
pembahasan khusus untuk mengungkap kejanggalan dan kekeliruan pada sebagian fatwa-fatwa
Ibnu Taimiyah dalam begitu banyak karyanya (lihat al-Maqaalaat as-Sunniyyah karya Syaikh
Abdullah al-Harary).
Sedangkan Muhammad bin Abdul Wahab yang datang belakangan jauh lebih beruntung. Ia
didukung oleh seorang Raja yang berhasil menguasai Mekkah (Hijaz) yang bernama Muhammad
bin Sa'ud atau lebih dikenal dengan Ibnu Sa'ud (penaklukan Hijaz ke-I th. 1803-1813 M,
penaklukan ke-II th. 1925 M masa Raja Abdul Aziz bin Sa'ud dengan bantuan Inggris sampai
sekarang). Itulah mengapa Mekkah, Madinah dan sekitarnya sekarang dikenal dengan
"Saudi"/Sa'udi Arabia (dinisbatkan kepada Ibnu/bin Sa'ud atau Aalu Sa'ud/keluarga Sa'ud).
Dengan dukungan kekuasaan dan dana dari Raja Ibnu Sa'ud itulah maka ajaran Wahabi menjadi
paham wajib di Saudi Arabia, dan menyebar luas sekaligus membuat resah umat Islam di negeri-
negeri yang lain.
Mengapa Wahabi dianggap meresahkan? Karena fatwa-fatwa ulama Wahabi tentang
bid'ah dan khurafat yang disebarluaskan itu seringkali berbenturan dengan adat istiadat atau
tradisi keagamaan umat Islam di masing-masing negeri, padahal tradisi mereka itu telah
berlangsung sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu dan telah dijelaskan kebolehan atau
keutamaannya oleh para ulama ahlus-Sunnah wal-jama'ah. Tradisi keagamaan yang sering
dianggap bid'ah dan sesat itu di antaranya: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan
kematian, do'a dan zikir berjama'ah, ziarah kubur, tawassul, membaca al-Qur'an di pekuburan,
qunut shubuh, dan lain sebagainya yang masing-masing memiiki dasar di dalam agama.
background image
Jelasnya, keresahan itu muncul karena fatwa-fatwa para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab
(Wahabi) tersebut bertentangan dengan fatwa-fatwa mayoritas ulama yang dijadikan pedoman
oleh mayoritas umat Islam di dunia. Akibatnya mereka menjadi seperti orang usil yang selalu
menyalahkan dan mempermasalahkan amalan orang lain, lebih dari itu bahkan mereka
menganggap sesat orang yang tidak sejalan dengan Wahabi.
(Untuk lebih jelas, baca "I'tiqad Ahlussunnah Wal-Jama'ah" karya KH. Siradjuddin
Abbas, diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Jakarta. Juga baca "Maqaalaat as-Sunniyyah fii
Kasyfi Dhalaalaati Ibni Taimiyah", karya Syaikh Abdullah al-Harary, diterbitkan oleh Daarul-
Masyaarii' al-Khairiyyah, Libanon).
Ajaran Salafi Ibnu Taimiyah dilanjutkan oleh murid-muridnya, di antara yang paling
dikenal adalah Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Sedangkan ajaran Wahabi disebarluaskan oleh para
ulama Wahabi yang diakui di Saudi Arabia, yang paling dikenal di antaranya adalah:
Nashiruddin al-Albani, Abdul Aziz bin Baz, Shalih al-Utsaimin, Shalih bin Fauzan al-Fauzan,
Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, dan lain-lain. Namun begitu, kita berusaha bersikap
proporsional dalam menyikapi ajaran yang mereka sampaikan. Artinya, apa yang baik dan
sejalan dengan pendapat para ulama mayoritas maka tidak kita kategorikan ke dalam
penyimpangan atau kesesatan.
Perlu diketahui, bahwa meskipun dasar kemunculannya berbeda, namun belakangan
Salafi & Wahabi seperti satu tubuh yang tidak bisa dibedakan, yaitu sama-sama
memandang sesat atau bid'ah terhadap acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.,
tahlilan kematian, ziarah kubur, tawassul, menghadiahkan pahala kepada orang
meninggal, berdo'a & berzikir berjama'ah, bersalaman selesai shalat berjama'ah,
membaca al-Qur'an di pekuburan, berdo'a menghadap kuburan, dan lain sebagainya. Dan
boleh dikatakan, bahwa Salafi & Wahabi sekarang sudah menjadi mazhab tersendiri yang
lebih ekstrim dalam berfatwa ketimbang Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul
Wahab sendiri.
Di Indonesia, fatwa-fatwa Salafi & Wahabi banyak disebarluaskan oleh para mahasiswa
atau sarjana yang sebagian besarnya adalah alumni Perguruan Tinggi di Saudi Arabia atau
mereka yang mendapat beasiswa di lembaga pendidikan Saudi Arabia. Di samping itu, paham
Wahabi juga disebarluaskan melalui buku-buku terjemahan, yang kini menghiasi berbagai toko
buku atau stan-stan pameran buku. Bahkan, buku–buku mereka juga dibagi-bagi secara gratis,
baik melalui Atase Kedubes Saudi Arabia, maupun lembaga pendidikan Saudi Arabia seperti
LIPIA atau yang lainnya. Buku-buku seperti itu juga dibagikan kepada semua Jama'ah Haji
secara gratis setiap tahunnya, akibatnya sebagian mereka mengalami perang batin dalam
menimbang-nimbang kebenaran.
Di samping melalui buku-buku dan forum-forum kajian keagamaan, fatwa-fatwa
Wahabi & Salafi juga disebarluaskan melalui siaran radio, seperti: Radio Dakta Bekasi
(FM/107 Mhz), Radio Roja' Cileungsi (AM/756 Mhz), dan Radio Fajri Bogor (FM/91,4
Mhz).
background image
Di Indonesia juga terdapat ormas-ormas Islam yang prinsip dasar atau metodologi
ajarannya sama atau hampir sama dengan Salafi & Wahabi seperti Muhammadiyah, PERSIS, Al-
Irsyad, PUI (Persatuan Umat Islam), Paderi, Sumatra Tawalib, dan lain-lain (lihat Ensiklopedi
Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, jilid 4, hal. 205), hanya saja ada sebagian yang tidak
seekstrim mereka. Tetapi kadang sebagian anggota ormas-ormas itupun memiliki sikap
ekslusivisme yang sama dengan Salafi & Wahabi, sehingga dalam kajian ini penulis tidak
memisahkan mereka sebagai kelompok tersendiri, dan menganggapnya sejenis dengan kaum
Salafi & Wahabi jauh lebih layak untuk sebuah pemahaman agama dengan ciri yang sama, entah
sebagian ciri atau keseluruhannya.
Dalam kajian ini kami tidak ingin berpanjang kalam tentang Ibnu Taimiyah atau
Muhammad bin Abdul Wahab, menimbang keperluannya yang tidak terlalu urgen dalam
pembahasan ini.. Sebab sepertinya, para pengikut mereka sekarang sudah lebih independen
dalam berijtihad dan berfatwa mengenai perkara-perkara baru yang mereka anggap bagian dari
agama yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.. Bahkan
dalam beberapa hal mereka tidak sependapat dengan Ibnu Taimiyah & Muhammad bin Abdul
Wahab. Hal ini menunjukkan bahwa kaum Salafi dan Wahabi sekarang ini hanya mengambil
motto utama yang sangat global dari Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab, yaitu
"kembali kepada al-Qur'an, Sunnah Rasulullah Saw., dan Sunnah para Shahabat beliau",
sedang dalam perkara-perkara detailnya mereka cenderung pilih-piih.
Itulah kenapa konsentrasi pembahasan ini lebih pada fatwa-fatwa ulama Salafi dan Wahabi,
di mana fatwa-fatwa itulah yang sering menjadi sumber masalah bagi kerukunan hidup beragama
antar umat Islam.
APA YANG SALAH, DENGAN "KEMBALI KEPADA AL-QUR'AN & SUNNAH"?
Telah disebutkan di atas, bahwa kaum Salafi & Wahabi memiliki motto "Kembali kepada
al-Qur'an dan Sunnah". Mereka juga mengajak umat untuk kembali kepada al-Qur'an dan
Sunnah. Kenapa? Karena, tentunya, al-Qur'an dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang
utama yang diwariskan oleh Rasulullah Saw., sehingga siapa saja yang menjadikan keduanya
sebagai pedoman, maka ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan berarti ia
selamat dari kesesatan. Bukankah Rasulullah Saw. menyuruh yang sedemikian itu kepada
umatnya?
Sampai di sini mungkin banyak orang bertanya, mengapa Ibnu Taimiyah & Muhammad
bin Abdul Wahab yang menyerukan hal se-bagus dan se-ideal itu dianggap sesat oleh para ulama
di zamannya? Mengapa pula paham Salafi & Wahabi yang merujuk semua ajarannya kepada al-
Qur'an dan Sunnah dianggap menyimpang bahkan divonis sesat??! Rasanya, hanya orang gila
yang berani menyatakan begitu.
background image
Tetapi, mari kita perhatikan permasalahan ini satu demi satu, agar terlihat "sumber
masalah" yang ada pada sikap yang terlihat sangat ideal tersebut.
1.
Prinsip "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" adalah benar secara teoritis, dan sangat
ideal bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tetapi yang harus diperhatikan
adalah, apa yang benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang
kapasitas dan kapabilitas (kemampuan) tiap orang dalam memahami al-Qur'an &
Sunnah sangat berbeda-beda. Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap
al-Qur'an atau Sunnah yang dihasilkan oleh seorang 'alim
yang menguasai Bahasa Arab dan segala ilmu yang menyangkut perangkat penafsiran
atau ijtihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman yang dihasilkan oleh
orang awam yang mengandalkan buku-buku "terjemah" al-Qur'an atau Sunnah. Itulah
kenapa di zaman ini banyak sekali bermunculan aliran sesat. Jawabnya tentu karena
masing-masing mereka berusaha kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah, dan mereka
berupaya mengkajinya dengan kemampuan dan kapasitasnya sendiri. Bisa dibayangkan
dan telah terbukti hasilnya, kesesatan yang dihasilkan oleh Yusman Roy (mantan petinju
yang merintis sholat dengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq (mantan
pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden (mantan perangkai bunga kering
yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril), Agus Imam Sholihin (orang awam yang
mengaku tuhan), dan banyak lagi yang lainnya. Dan kesesatan mereka itu lahir dari sebab
"Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah", mereka merasa benar dengan caranya sendiri.
Pada kaum Salafi & Wahabi, kesalahpahaman terhadap al-Qur'an dan Sunnah itu pun
banyak terjadi, bahkan di kalangan mereka sendiri pun terjadi perbedaan pemahaman
terhadap dalil. Dan yang terbesar adalah kesalahpahaman mereka terhadap dalil-dalil
tentang bid'ah.
2.
Al-Qur'an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki
keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang
empat, para mufassiriin (ulama tafsir), muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa' (ulama
fiqih), ulama aqidah ahus-sunnah wal-Jama'ah, dan mutashawwifiin (ulama
tasawuf/akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan
kandungan al-Qur'an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud kasih
sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari. Karya-karya besar itu
merupakan pemahaman para ulama yang disebut di dalam al-Qur'an sebagai "ahludz-
dzikr", yang kemudian disampaikan kepada umat Islam secara turun-temurun dari
generasi ke generasi secara berantai sampai saat ini. Adalah sebuah keteledoran besar jika
upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara "kembali kepada al-Qur'an
dan Sunnah" dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama tersebut. Itulah yang
dibudayakan oleh sebagian kaum Salafi & Wahabi. Dan yang menjadi pangkal
penyimpangan paham Salafi & Wahabi sesungguhnya, adalah karena mereka memutus
mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber
rujukan agama hanya sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah),
hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abad ke-8 H.) dan para
pengikutnya. Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak
kitab-kitab yang dianggap sampah yang ada di antara abad ke-3 hingga abad ke-8
background image
hijriyah. Lebih parahnya lagi, dengan rantai yang terputus jauh, Ibnu Taimiyah dan kaum
Salafi & Wahabi pengikutnya seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran
ulama salaf yang murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman mereka
sendiri setelah merujuk langsung pendapat-pendapat ulama salaf. Bukankah yang lebih
mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid mereka? Dan bukankah para
murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada murid-murid mereka lagi, dan
hal itu terus berlanjut secara turun temurun dari generasi ke generasi baik lisan maupun
tulisan? Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari
ulama salaf yang sudah terpelihara dari abad ke abad itu tiba di hadapan mereka di abad
mana mereka hidup, lalu mereka campakkan sebagai tanda tidak percaya, dan mereka
lebih memilih untuk memahaminya langsung dari para ulama salaf tersebut? Sungguh, ini
bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga keteledoran besar, bila tidak ingin disebut
kebodohan. Jadi kaum Salafi & Wahabi bukan Cuma menggaungkan motto "kembali
kepada al-Qur'an dan Sunnah" secara langsung, tetapi juga "kembali kepada pendapat
para ulama salaf" secara langsung dengan cara dan pemahaman sendiri. Mereka bagaikan
orang yang ingin menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan
bagaikan orang yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan
air.
3.
Para ulama telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur'an dan Sunnah di dalam
kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah "hasil jadi". Para ulama itu bukan saja
telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa
proses pengkajian atau penelitan yang rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan
keselamatan bagi umat agar terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur'an
dan Sunnah yang sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal
yang mumpuni seperti yang dimiliki para ulama tersebut. Boleh dibilang, kemampuan
yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih
di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup
Rasulullah Saw. & para Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan
hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara' (kehati-
hatian), keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya. Pendek kata, para ulama seakan-
akan telah menghidangkan "makanan siap saji" yang siap disantap oleh umat tanpa repot-
repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa
kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Saat kaum Salafi &
Wahabi mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, dan mengalihkan
mereka untuk langsung merujuk kepada al-Qur'an dan Sunnah dengan dalih pemurnian
agama dari pencemaran "pendapat" manusia (ulama) yang tidak memiliki otoritas untuk
menetapkan syari'at, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang
hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya menanam padi.
Seandainya tidak demikian, mereka mengelabui umat dengan cara menyembunyikan
figur ulama mayoritas yang mereka anggap telah "mencemarkan agama", lalu
menampilkan dan mempromosikan segelintir sosok ulama Salafi & Wahabi beserta
karya-karya mereka serta mengarahkan umat agar hanya mengambil pemahaman al-
Qur'an dan Sunnah dari mereka saja dengan slogan "pemurnian agama".
background image
Sesungguhnya, "pencemaran" yang dilakukan para ulama yang shaleh dan ikhlas itu
adalah upaya yang luar biasa untuk melindungi umat dari kesesatan, sedangkan
"pemurnian" yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah penodaan terhadap
ijtihad para ulama dan pencemaran terhadap al-Qur'an dan Sunnah. Dan pencemaran
terbesar yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi terhadap al-Qur'an dan Sunnah
adalah saat mereka mengharamkan begitu banyak perkara yang tidak diharamkan oleh al-
Qur'an dan Sunnah; saat mereka menyebutkan secara terperinci amalan-amalan yang
mereka vonis sebagai bid'ah sesat atas nama Allah dan Rasulullah Saw., padahal Allah
tidak pernah menyebutkannya di dalam al-Qur'an dan Rasulullah Saw. tidak pernah
menyatakannya di dalam Sunnah (hadis)nya.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa orang yang "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" itu
belum tentu dapat dianggap benar, dan bahwa para ulama yang telah menulis ribuan jilid kitab
tidak mengutarakan pendapat menurut hawa nafsu mereka. Amat ironis bila karya-karya para
ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang al-Qur'an dan Sunnah itu dituduh oleh kaum Salafi
& Wahabi sebagai kumpulan pendapat manusia yang tidak berdasar pada dalil, sementara kaum
Salafi & Wahabi sendiri yang jelas-jelas hanya memahami dalil secara harfiyah (tekstual)
dengan sombongnya menyatakan diri sebagai orang yang paling sejalan dengan al-Qur'an dan
Sunnah.
background image
BAB 2 KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
Berargumen dengan dalil adalah merupakan suatu keharusan dalam menetapkan suatu
kesimpulan hukum di dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut urusan ibadah. Menurut
kesepakatan para ulama, dalil yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam
agama ada empat (4) sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur'an 2. Sunnah 3. Ijma'
4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan penunjukkan langsungnya di dalam al-
Qur'an, maka dirujuklah kepada Hadis atau Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak
ditemukan, maka dirujuklah ijma' (kesepatakan) para ulama mujtahid berdasarkan isyarat-isyarat
al-Qur'an dan Hadis, dan bila juga tidak ditemukan maka digunakanlah ijtihad lain yang disebut
qiyas yaitu perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut di dalam
al-Qur'an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. (Lihat
Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal.
18-21).
Digunakannya ijma' dan qiyas (yang mana keduanya erat dengan pendekatan akal/logika)
saat tidak ditemukan hukum suatu perkara di dalam al-Qur'an dan Sunnah, tidak berarti
menganggap bahwa wahyu Allah dan Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki kekurangan.
Justeru di sinilah perencanaan Allah Swt. yang Maha Sempurna berlaku, di mana pada satu sisi
manusia dibekali petunjuk pasti yang sangat mendetail di dalam al-Qur'an dan Sunnah
Rasulullah Saw. yang wajib ditaati, sedang di sisi lain (pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah
Saw. tersebut) manusia hanya dibekali prinsip-prinsip dasar, baik dalam bentuk global maupun
isyarat yang penerapannya dapat berlaku di sepanjang zaman dan tempat. Pada sisi inilah Allah
Swt. sengaja memberikan peran bagi akal manusia, di mana manusia itu disuruh (bahkan
dihargai) untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami prinsip dasar dan isyarat al-Qur'an
atau Sunnah lalu menerapkannya sesuai keadaan hidup manusia yang selalu mengalami
perubahan dan perkembangan secara alamiah di setiap tempat dan masa, dan manusia memang
ditakdirkan berubah dan berkembang keadaan hidupnya. Bukankah ini sebuah perencanaan yang
sempurna dalam ciptaan Allah Swt.; Ia ciptakan akal manusia, Ia beri panduan umum dan
khusus, lalu Ia suruh manusia menggunakan akal tersebut dan memberinya penghargaan?
Bayangkan, betapa sia-sianya akal yang sudah diciptakan Allah Swt. ini, bila segala
permasalahan hidup manusia semuanya disebutkan dengan mendetail di dalam al-Qur'an atau
Sunnah; betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci al-Qur'an bila harus memuat seluruh
permasalahan manusia sesuai perubahan dan perkembangannya di setiap masa dan tempat mulai
dari masa diciptakannya Nabi Adam As. sampai hari kiamat.; dan sungguh dengan begitu
Rasulullah Saw. tidak perlu mati, beliau harus dihidupkan terus oleh Allah sampai hari kiamat
agar dapat memberikan penjelasan hukum yang pasti setiap kali ada masalah baru yang timbul
dari sebab perubahan atau perkembangan keadaan dalam kehidupan manusia.
Dengan menyembunyikan hukum pasti di dalam al-Qur'an atau Sunnah, Allah telah
memberi ruang kepada manusia untuk berijtihad dengan akalnya, tentunya dengan panduan
prinsip-prinsip yang telah diberikan di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Di sinilah rahmat Allah Swt.
BAB 1 MENYINGKAP TIPU DAYA & FITNAH KEJI FATWA-FATWA KAUM
SALAFI & WAHABI
KERESAHAN TERHADAP ALIRAN SESAT
Belakangan ini, Indonesia sedang dilanda gelombang besar paham baru keislaman yang
beraneka ragam bentuknya dan sangat menyesatkan. Munculnya sikap-sikap ekslusif dan arogan
dari para pengusung atau pengikut masing-masing paham tersebut telah semakin meresahkan
masyarakat. Merasa diri berhak berupaya mengkaji al-Qur'an atau hadis, merasa diri paling benar
dan yang lain salah, menganggap kesesatan itu hanya Allah yang berhak memvonisnya, dan
menganggap pemahaman umat Islam tentang agama selama ini keliru, semua dalih itu telah
menyebabkan perbedaan pendapat yang memicu perpecahan di kalangan umat Islam.
Para ulama pun tidak tinggal diam, demi menyaksikan "kekacauan" tersebut. Sebagai
wujud tanggung jawab mereka kepada Allah, maka mereka terus berupaya membentengi umat
dari serangan paham-paham sesat tersebut, baik secara perorangan melalui mimbar-mimbar
masjid atau majlis-majlis ta'im, maupun secara lembaga seperti yang dilakukan oleh MUI
(Majelis Ulama Indonesia). Upaya itu mereka wujudkan dalam bentuk penjelasan-penjelasan
atau fatwa-fatwa yang menyatakan bahwa paham-paham tersebut sesat dan menyesatkan.
Meskipun begitu, fatwa-fatwa para ulama terutama MUI (Majelis Ulama Indonesia)
tersebut seringkali menghadapi kendala, baik dari pihak-pihak yang tidak senang dengan fatwa-
fatwa tersebut, maupun dari pihak pemerintah yang tidak selalu siap mengakomodir fatwa-fatwa
itu dengan fasilitas hukum, sehingga para ulama terkesan hanyalah sebagai kumpulan orang-
orang sok tahu yang gemar mempermasalahkan orang lain, sedang fatwa-fatwa mereka tak
ubahnya bagaikan gonggongan anjing yang tidak perlu dihiraukan.
Namun begitu, alhamdulillah, berkat para ulama tersebut, masyarakat banyak yang
terselamatkan dari bahaya kesesatan. Mereka dapat mengenal paham-paham sesat dan
menjauhinya dengan bimbingan fatwa-fatwa mereka. Meski demikian, bukan berarti keresahan
dan perpecahan di kalangan masyarakat Islam dapat hilang dengan mudah. Sistem hukum dan
undang-undang yang sekuler serta pemerintahan yang tidak tegas dalam menindak pelaku
kesesatan, adalah salah satu yang paling mendukung keleluasaan orang-orang berpaham sesat
untuk bertahan dan menyebarluaskan kesesatannya.
Berbeda pendapat adalah hak asasi setiap orang yang dilindungi undang-undang di negara ini.
Sayangnya, karena tidak adanya batasan yang jelas, perbedaan pendapat itu seringkali memasuki
wilayah prinsip dalam agama yang seharusnya dihindari. Malahan agamalah yang sering menjadi
korban empuk argumentasi perbedaan pendapat itu sambil berlindung di balik payung HAM
(Hak Asasi Manusia) yang sekuler. Sehingga sepanjang perbedaan itu masih ada (bahkan
dilindungi), potensi perpecahan pun akan tetap eksis.
background image
TIDAK DIANGGAP SESAT TAPI MERESAHKAN
Dalam pada itu, ada aliran atau paham yang tidak pernah difatwakan oleh lembaga formal
para ulama Indonesia seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia), namun keberadaannya di tengah-
tengah masyarakat Islam Indonesia bahkan di kalangan umat Islam di dunia terbukti sangat
meresahkan. Faham itu bernama Salafi dan Wahabi. Banyak ulama yang secara pribadi bahkan
telah terang-terangan menyatakan faham ini sebagai "masalah" di kalangan umat Islam.
Tidak difatwakan sebagai aliran sesat, tidak selalu berarti lurus dan benar. Sebab
apa yang hakikatnya lurus dan benar seyogyanya tidak memunculkan masalah dalam
prakteknya pada kehidupan sosial, kecuali hanya akan menghadapi tantangan dari orang-
orang kafir atau munafik yang tidak suka terhadap Islam.
Pertanyaannya, mengapa kaum Salafi dan Wahabi ini di satu sisi hampir tidak pernah
"bermasalah" dengan orang-orang kafir, di sisi lain malah gemar sekali "mempermasalahkan"
saudaranya sendiri sesama muslim yang mayoritas tidak sepaham dengan mereka? Bagaimana
mungkin pengakuan mereka sebagai pengikut al-Qur'an & Sunnah Rasulullah Saw. dapat
dibenarkan, sementara sikap mereka bertolak belakang dengan ciri-ciri pengikut Rasulullah Saw.
yang difirmankan oleh Allah Swt., "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
mereka…"(QS. al-Fath: 29)? Ayat al-Qur'an atau hadis Rasulullah Saw. yang manakah yang
menyuruh mereka bersikap "keras" terhadap saudaranya yang muslim?
Berbagai kasus ketidaknyamanan yang disampaikan masyarakat di berbagai wilayah akibat
fatwa-fatwa dan pernyataan kaum Salafi dan Wahabi inilah yang menjadi motivasi kuat bagi
kami untuk membuat buku atau film dakwah ini. Propaganda paham mereka yang lumayan
gencar melalui terbitan buku-buku terjemahan dan siaran Radio seperti Radio Dakta Bekasi
(FM/107 Mhz), Radio Roja' Cileungsi (AM/756 Mhz), dan Radio Fajri Bogor (FM/91,4
Mhz) telah semakin meresahkan. Menganggap sesat amalan orang lain dengan tuduhan bid'ah
dan menganggap hanya diri merekalah yang sejalan dengan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah
Saw. serta Sunnah para Shahabat beliau, menjadi tema utama dakwah mereka. Bahkan dengan
alasan itu mereka berani mengeluarkan fatwa-fatwa atau pernyataan terhadap amalan masyarakat
yang "berbau agama" di mana fatwa-fatwa tersebut tanpa mereka sadari penuh tipu daya dan
fitnah, dan dari sinilah masalahnya dimulai.
Keawaman masyarakat tentang agama telah memberi tempat yang cukup besar bagi mereka
untuk menyebarkan paham Salafi dan Wahabi tersebut, sehingga semakin banyak pengikutnya,
semakin kuat ekslusivisme mereka. Saat seorang muslim sudah tidak menganggap muslim yang
lain sama dengan dirinya, dan saat ia sudah tidak merasa nyaman berkumpul bersama muslim
yang tidak sepaham dengannya, maka mengasingkan diri dan mencari kumpulan orang-orang
yang sepaham dengannya adalah jalan keluarnya. Itulah ekslusivisme; itulah kesombongan; dan
itulah sumber perpecahan.
Lebih ekstrimnya lagi, ketika sudah merasa kuat, propaganda mereka jalankan dengan
terang-terangan, bahkan tak jarang (dan ini terbukti) sampai pada perebutan atau penguasaan
lahan dakwah seperti masjid, musholla, ta'lim di kantor-kantor, atau minimal merintis kumpulan
background image
pengajian tandingan baik di tempat-tempat tersebut maupun di rumah-rumah. Akibatnya, tanpa
disadari mereka sudah menguasai sarana kegiatan dakwah di beberapa komplek perumahan, dan
telah merebut anggota "jama'ah" pengajian para ustadz di wilayah setempat yang berbuntut pada
terganggunya hubungan silaturrahmi antar anggota jama'ah tersebut.
Buku ini dibuat bukan untuk memperbesar jurang perpecahan tersebut, melainkan untuk
memperbaiki keadaan yang tidak nyaman itu dan meluruskan apa yang seharusnya diluruskan
dengan cara menyingkap kekeliruan-kekeliruan pemahaman kaum Salafi dan Wahabi yang
sangat tersembunyi dan hampir tidak pernah disadari oleh para pengikutnya bahkan tokoh-tokoh
ulamanya.
Di satu sisi, melalui buku ini kami berharap agar masyarakat awam yang belum
terpengaruh dapat membentengi diri dari paham yang merusak silaturrahmi ini, di sisi lain kami
juga sangat berharap agar orang-orang yang sudah mengikuti paham Salafi dan Wahabi dapat
menyadari kekeliruannya lalu berusaha memperbaikinya, atau bahkan meninggalkannya. Itulah
kenapa buku ini kami beri judul "MENYINGKAP TIPU DAYA & FITNAH KEJI FATWA-
FATWA KAUM SALAFI & WAHABI".
Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq kepada kita untuk dapat melihat yang benar
sebagai kebenaran dan memberikan kita kekuatan untuk mengikutinya, serta memperlihatkan
yang batil sebagai kebatilan dan memberikan kita kekuatan untuk menjauhkan diri darinya.
Kepada-Nya lah kami berserah diri, dan kepada-Nya lah kami kembali.
SEKILAS TENTANG SALAFI & WAHABI
Salafi atau Salafiyah adalah sebutan untuk kelompok atau paham keagamaan yang
dinisbatkan kepada Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah ( 661 H-728 H) atau yang sering dikenal
dengan panggilan Ibnu Taimiyah. Salafi atau Salafiyah itu sering dipahami sebagai gerakan
untuk kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. beserta para Sahabat beliau.
Wahabi atau Wahabiyah adalah sebutan untuk kelompok atau paham keagamaan yang
dinisbatkan kepada pelopornya yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1702 M-1787 M/
1115 H-1206 H). sebetulnya, nama Wahabi ini tidak sesuai dengan nama pendirinya,
Muhammad, tetapi begitulah orang-orang menyebutnya. Sedangkan para pengikut Wahabi
menamakan diri mereka dengan al-Muwahhiduun (orang-orang yang mentauhidkan Allah),
meskipun sebagian mereka juga mengakui sebutan Wahabi.
Kedua paham di atas, Salafi & Wahabi, sebenarnya memiliki hubungan tidak langsung
yang cukup erat, yaitu bahwa Muhammad bin Abdul Wahab adalah termasuk pengagum Ibnu
Taimiyah dan banyak terpengaruh oleh karya-karya tulis Ibnu Taimiyah. Itulah mengapa kedua
ajaran mereka memiliki kesamaan visi dan misi, yaitu "Kembali kepada Al-Qur'an & Sunnah
Rasulullah Saw. beserta para Sahabat beliau," sehingga apa saja yang "mereka anggap" tidak ada
perintah atau anjurannya di dalam Al-Qur'an, Sunnah, atau atsar Sahabat Nabi Saw., langsung
mereka anggap sebagai bid'ah (perkara baru yang diada-adakan) yang diharamkan dan
background image
dikategorikan sebagai kesesatan, betapapun bagusnya bentuk suatu kegiatan keagamaan tersebut,
dengan dasar hadis Nabi Saw. "… kullu bid'atin dhalalah, wa kullu dhalalatin fin-naar"
(setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan akan dimasukkan ke dalam Neraka).
Dengan visi dan misi inilah maka para pengikut mereka di zaman ini menamai diri mereka
dengan sebutan Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah (penganut Sunnah Nabi Muhammad Saw. & para
Sahabat beliau) yang pada hakikatnya berbeda dari pengertian Ahlus-sunnah wal-Jama'ah yang
dipahami oleh para ulama Islam di dunia (yaitu yang mempunyai hubungan historis dengan al-
Asy'ari dan al-Maturidi ).
Visi "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta para Sahabatnya"
tersebut telah mendorong mereka untuk melaksanakan sebuah misi "memberantas Bid'ah &
Khurafat". Sekilas visi & misi itu terlihat sangat bagus, namun dalam prakteknya ternyata
seringkali menjadi sangat berlebihan. Mengapa? Karena semua bid'ah & khurafat yang
mereka anggap sesat dan wajib diberantas itu mereka definisikan sendiri tanpa
mengkompromikan dengan definisi atau penjelasan para ulama terdahulu. Terbukti, pada
masa hidupnya saja, baik Ibnu Taimiyah maupun Muhammad bin Abdul Wahab, sudah dianggap
"aneh" bahkan cenderung dianggap sesat ajarannya oleh para ulama pengikut empat Mazhab
(Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) yang keseluruhannya menganut paham ahlus-Sunnah wal-
jama'ah.
Hal itu terjadi karena Ibnu Taimiyah kerapkali mengeluarkan fatwa-fatwa ganjil mengenai
aqidah atau syari'at yang menyelisihi ijma' para ulama, sehingga ia sering ditangkap, disidang,
dan dipenjara, sampai-sampai ia wafat di dalam penjara di Damaskus. Dan tercatat ada 60 ulama
besar (baik yang sezaman dengan Ibnu Taimiyah maupun yang sesudahnya) yang menulis
pembahasan khusus untuk mengungkap kejanggalan dan kekeliruan pada sebagian fatwa-fatwa
Ibnu Taimiyah dalam begitu banyak karyanya (lihat al-Maqaalaat as-Sunniyyah karya Syaikh
Abdullah al-Harary).
Sedangkan Muhammad bin Abdul Wahab yang datang belakangan jauh lebih beruntung. Ia
didukung oleh seorang Raja yang berhasil menguasai Mekkah (Hijaz) yang bernama Muhammad
bin Sa'ud atau lebih dikenal dengan Ibnu Sa'ud (penaklukan Hijaz ke-I th. 1803-1813 M,
penaklukan ke-II th. 1925 M masa Raja Abdul Aziz bin Sa'ud dengan bantuan Inggris sampai
sekarang). Itulah mengapa Mekkah, Madinah dan sekitarnya sekarang dikenal dengan
"Saudi"/Sa'udi Arabia (dinisbatkan kepada Ibnu/bin Sa'ud atau Aalu Sa'ud/keluarga Sa'ud).
Dengan dukungan kekuasaan dan dana dari Raja Ibnu Sa'ud itulah maka ajaran Wahabi menjadi
paham wajib di Saudi Arabia, dan menyebar luas sekaligus membuat resah umat Islam di negeri-
negeri yang lain.
Mengapa Wahabi dianggap meresahkan? Karena fatwa-fatwa ulama Wahabi tentang
bid'ah dan khurafat yang disebarluaskan itu seringkali berbenturan dengan adat istiadat atau
tradisi keagamaan umat Islam di masing-masing negeri, padahal tradisi mereka itu telah
berlangsung sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu dan telah dijelaskan kebolehan atau
keutamaannya oleh para ulama ahlus-Sunnah wal-jama'ah. Tradisi keagamaan yang sering
dianggap bid'ah dan sesat itu di antaranya: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan
kematian, do'a dan zikir berjama'ah, ziarah kubur, tawassul, membaca al-Qur'an di pekuburan,
qunut shubuh, dan lain sebagainya yang masing-masing memiiki dasar di dalam agama.
background image
Jelasnya, keresahan itu muncul karena fatwa-fatwa para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab
(Wahabi) tersebut bertentangan dengan fatwa-fatwa mayoritas ulama yang dijadikan pedoman
oleh mayoritas umat Islam di dunia. Akibatnya mereka menjadi seperti orang usil yang selalu
menyalahkan dan mempermasalahkan amalan orang lain, lebih dari itu bahkan mereka
menganggap sesat orang yang tidak sejalan dengan Wahabi.
(Untuk lebih jelas, baca "I'tiqad Ahlussunnah Wal-Jama'ah" karya KH. Siradjuddin
Abbas, diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Jakarta. Juga baca "Maqaalaat as-Sunniyyah fii
Kasyfi Dhalaalaati Ibni Taimiyah", karya Syaikh Abdullah al-Harary, diterbitkan oleh Daarul-
Masyaarii' al-Khairiyyah, Libanon).
Ajaran Salafi Ibnu Taimiyah dilanjutkan oleh murid-muridnya, di antara yang paling
dikenal adalah Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Sedangkan ajaran Wahabi disebarluaskan oleh para
ulama Wahabi yang diakui di Saudi Arabia, yang paling dikenal di antaranya adalah:
Nashiruddin al-Albani, Abdul Aziz bin Baz, Shalih al-Utsaimin, Shalih bin Fauzan al-Fauzan,
Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, dan lain-lain. Namun begitu, kita berusaha bersikap
proporsional dalam menyikapi ajaran yang mereka sampaikan. Artinya, apa yang baik dan
sejalan dengan pendapat para ulama mayoritas maka tidak kita kategorikan ke dalam
penyimpangan atau kesesatan.
Perlu diketahui, bahwa meskipun dasar kemunculannya berbeda, namun belakangan
Salafi & Wahabi seperti satu tubuh yang tidak bisa dibedakan, yaitu sama-sama
memandang sesat atau bid'ah terhadap acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.,
tahlilan kematian, ziarah kubur, tawassul, menghadiahkan pahala kepada orang
meninggal, berdo'a & berzikir berjama'ah, bersalaman selesai shalat berjama'ah,
membaca al-Qur'an di pekuburan, berdo'a menghadap kuburan, dan lain sebagainya. Dan
boleh dikatakan, bahwa Salafi & Wahabi sekarang sudah menjadi mazhab tersendiri yang
lebih ekstrim dalam berfatwa ketimbang Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul
Wahab sendiri.
Di Indonesia, fatwa-fatwa Salafi & Wahabi banyak disebarluaskan oleh para mahasiswa
atau sarjana yang sebagian besarnya adalah alumni Perguruan Tinggi di Saudi Arabia atau
mereka yang mendapat beasiswa di lembaga pendidikan Saudi Arabia. Di samping itu, paham
Wahabi juga disebarluaskan melalui buku-buku terjemahan, yang kini menghiasi berbagai toko
buku atau stan-stan pameran buku. Bahkan, buku–buku mereka juga dibagi-bagi secara gratis,
baik melalui Atase Kedubes Saudi Arabia, maupun lembaga pendidikan Saudi Arabia seperti
LIPIA atau yang lainnya. Buku-buku seperti itu juga dibagikan kepada semua Jama'ah Haji
secara gratis setiap tahunnya, akibatnya sebagian mereka mengalami perang batin dalam
menimbang-nimbang kebenaran.
Di samping melalui buku-buku dan forum-forum kajian keagamaan, fatwa-fatwa
Wahabi & Salafi juga disebarluaskan melalui siaran radio, seperti: Radio Dakta Bekasi
(FM/107 Mhz), Radio Roja' Cileungsi (AM/756 Mhz), dan Radio Fajri Bogor (FM/91,4
Mhz).
background image
Di Indonesia juga terdapat ormas-ormas Islam yang prinsip dasar atau metodologi
ajarannya sama atau hampir sama dengan Salafi & Wahabi seperti Muhammadiyah, PERSIS, Al-
Irsyad, PUI (Persatuan Umat Islam), Paderi, Sumatra Tawalib, dan lain-lain (lihat Ensiklopedi
Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, jilid 4, hal. 205), hanya saja ada sebagian yang tidak
seekstrim mereka. Tetapi kadang sebagian anggota ormas-ormas itupun memiliki sikap
ekslusivisme yang sama dengan Salafi & Wahabi, sehingga dalam kajian ini penulis tidak
memisahkan mereka sebagai kelompok tersendiri, dan menganggapnya sejenis dengan kaum
Salafi & Wahabi jauh lebih layak untuk sebuah pemahaman agama dengan ciri yang sama, entah
sebagian ciri atau keseluruhannya.
Dalam kajian ini kami tidak ingin berpanjang kalam tentang Ibnu Taimiyah atau
Muhammad bin Abdul Wahab, menimbang keperluannya yang tidak terlalu urgen dalam
pembahasan ini.. Sebab sepertinya, para pengikut mereka sekarang sudah lebih independen
dalam berijtihad dan berfatwa mengenai perkara-perkara baru yang mereka anggap bagian dari
agama yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.. Bahkan
dalam beberapa hal mereka tidak sependapat dengan Ibnu Taimiyah & Muhammad bin Abdul
Wahab. Hal ini menunjukkan bahwa kaum Salafi dan Wahabi sekarang ini hanya mengambil
motto utama yang sangat global dari Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab, yaitu
"kembali kepada al-Qur'an, Sunnah Rasulullah Saw., dan Sunnah para Shahabat beliau",
sedang dalam perkara-perkara detailnya mereka cenderung pilih-piih.
Itulah kenapa konsentrasi pembahasan ini lebih pada fatwa-fatwa ulama Salafi dan Wahabi,
di mana fatwa-fatwa itulah yang sering menjadi sumber masalah bagi kerukunan hidup beragama
antar umat Islam.
APA YANG SALAH, DENGAN "KEMBALI KEPADA AL-QUR'AN & SUNNAH"?
Telah disebutkan di atas, bahwa kaum Salafi & Wahabi memiliki motto "Kembali kepada
al-Qur'an dan Sunnah". Mereka juga mengajak umat untuk kembali kepada al-Qur'an dan
Sunnah. Kenapa? Karena, tentunya, al-Qur'an dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang
utama yang diwariskan oleh Rasulullah Saw., sehingga siapa saja yang menjadikan keduanya
sebagai pedoman, maka ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan berarti ia
selamat dari kesesatan. Bukankah Rasulullah Saw. menyuruh yang sedemikian itu kepada
umatnya?
Sampai di sini mungkin banyak orang bertanya, mengapa Ibnu Taimiyah & Muhammad
bin Abdul Wahab yang menyerukan hal se-bagus dan se-ideal itu dianggap sesat oleh para ulama
di zamannya? Mengapa pula paham Salafi & Wahabi yang merujuk semua ajarannya kepada al-
Qur'an dan Sunnah dianggap menyimpang bahkan divonis sesat??! Rasanya, hanya orang gila
yang berani menyatakan begitu.
background image
Tetapi, mari kita perhatikan permasalahan ini satu demi satu, agar terlihat "sumber
masalah" yang ada pada sikap yang terlihat sangat ideal tersebut.
1.
Prinsip "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" adalah benar secara teoritis, dan sangat
ideal bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tetapi yang harus diperhatikan
adalah, apa yang benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang
kapasitas dan kapabilitas (kemampuan) tiap orang dalam memahami al-Qur'an &
Sunnah sangat berbeda-beda. Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap
al-Qur'an atau Sunnah yang dihasilkan oleh seorang 'alim
yang menguasai Bahasa Arab dan segala ilmu yang menyangkut perangkat penafsiran
atau ijtihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman yang dihasilkan oleh
orang awam yang mengandalkan buku-buku "terjemah" al-Qur'an atau Sunnah. Itulah
kenapa di zaman ini banyak sekali bermunculan aliran sesat. Jawabnya tentu karena
masing-masing mereka berusaha kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah, dan mereka
berupaya mengkajinya dengan kemampuan dan kapasitasnya sendiri. Bisa dibayangkan
dan telah terbukti hasilnya, kesesatan yang dihasilkan oleh Yusman Roy (mantan petinju
yang merintis sholat dengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq (mantan
pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden (mantan perangkai bunga kering
yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril), Agus Imam Sholihin (orang awam yang
mengaku tuhan), dan banyak lagi yang lainnya. Dan kesesatan mereka itu lahir dari sebab
"Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah", mereka merasa benar dengan caranya sendiri.
Pada kaum Salafi & Wahabi, kesalahpahaman terhadap al-Qur'an dan Sunnah itu pun
banyak terjadi, bahkan di kalangan mereka sendiri pun terjadi perbedaan pemahaman
terhadap dalil. Dan yang terbesar adalah kesalahpahaman mereka terhadap dalil-dalil
tentang bid'ah.
2.
Al-Qur'an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki
keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang
empat, para mufassiriin (ulama tafsir), muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa' (ulama
fiqih), ulama aqidah ahus-sunnah wal-Jama'ah, dan mutashawwifiin (ulama
tasawuf/akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan
kandungan al-Qur'an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud kasih
sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari. Karya-karya besar itu
merupakan pemahaman para ulama yang disebut di dalam al-Qur'an sebagai "ahludz-
dzikr", yang kemudian disampaikan kepada umat Islam secara turun-temurun dari
generasi ke generasi secara berantai sampai saat ini. Adalah sebuah keteledoran besar jika
upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara "kembali kepada al-Qur'an
dan Sunnah" dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama tersebut. Itulah yang
dibudayakan oleh sebagian kaum Salafi & Wahabi. Dan yang menjadi pangkal
penyimpangan paham Salafi & Wahabi sesungguhnya, adalah karena mereka memutus
mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber
rujukan agama hanya sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah),
hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abad ke-8 H.) dan para
pengikutnya. Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak
kitab-kitab yang dianggap sampah yang ada di antara abad ke-3 hingga abad ke-8
background image
hijriyah. Lebih parahnya lagi, dengan rantai yang terputus jauh, Ibnu Taimiyah dan kaum
Salafi & Wahabi pengikutnya seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran
ulama salaf yang murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman mereka
sendiri setelah merujuk langsung pendapat-pendapat ulama salaf. Bukankah yang lebih
mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid mereka? Dan bukankah para
murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada murid-murid mereka lagi, dan
hal itu terus berlanjut secara turun temurun dari generasi ke generasi baik lisan maupun
tulisan? Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari
ulama salaf yang sudah terpelihara dari abad ke abad itu tiba di hadapan mereka di abad
mana mereka hidup, lalu mereka campakkan sebagai tanda tidak percaya, dan mereka
lebih memilih untuk memahaminya langsung dari para ulama salaf tersebut? Sungguh, ini
bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga keteledoran besar, bila tidak ingin disebut
kebodohan. Jadi kaum Salafi & Wahabi bukan Cuma menggaungkan motto "kembali
kepada al-Qur'an dan Sunnah" secara langsung, tetapi juga "kembali kepada pendapat
para ulama salaf" secara langsung dengan cara dan pemahaman sendiri. Mereka bagaikan
orang yang ingin menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan
bagaikan orang yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan
air.
3.
Para ulama telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur'an dan Sunnah di dalam
kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah "hasil jadi". Para ulama itu bukan saja
telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa
proses pengkajian atau penelitan yang rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan
keselamatan bagi umat agar terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur'an
dan Sunnah yang sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal
yang mumpuni seperti yang dimiliki para ulama tersebut. Boleh dibilang, kemampuan
yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih
di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup
Rasulullah Saw. & para Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan
hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara' (kehati-
hatian), keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya. Pendek kata, para ulama seakan-
akan telah menghidangkan "makanan siap saji" yang siap disantap oleh umat tanpa repot-
repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa
kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Saat kaum Salafi &
Wahabi mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, dan mengalihkan
mereka untuk langsung merujuk kepada al-Qur'an dan Sunnah dengan dalih pemurnian
agama dari pencemaran "pendapat" manusia (ulama) yang tidak memiliki otoritas untuk
menetapkan syari'at, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang
hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya menanam padi.
Seandainya tidak demikian, mereka mengelabui umat dengan cara menyembunyikan
figur ulama mayoritas yang mereka anggap telah "mencemarkan agama", lalu
menampilkan dan mempromosikan segelintir sosok ulama Salafi & Wahabi beserta
karya-karya mereka serta mengarahkan umat agar hanya mengambil pemahaman al-
Qur'an dan Sunnah dari mereka saja dengan slogan "pemurnian agama".
background image
Sesungguhnya, "pencemaran" yang dilakukan para ulama yang shaleh dan ikhlas itu
adalah upaya yang luar biasa untuk melindungi umat dari kesesatan, sedangkan
"pemurnian" yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah penodaan terhadap
ijtihad para ulama dan pencemaran terhadap al-Qur'an dan Sunnah. Dan pencemaran
terbesar yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi terhadap al-Qur'an dan Sunnah
adalah saat mereka mengharamkan begitu banyak perkara yang tidak diharamkan oleh al-
Qur'an dan Sunnah; saat mereka menyebutkan secara terperinci amalan-amalan yang
mereka vonis sebagai bid'ah sesat atas nama Allah dan Rasulullah Saw., padahal Allah
tidak pernah menyebutkannya di dalam al-Qur'an dan Rasulullah Saw. tidak pernah
menyatakannya di dalam Sunnah (hadis)nya.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa orang yang "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" itu
belum tentu dapat dianggap benar, dan bahwa para ulama yang telah menulis ribuan jilid kitab
tidak mengutarakan pendapat menurut hawa nafsu mereka. Amat ironis bila karya-karya para
ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang al-Qur'an dan Sunnah itu dituduh oleh kaum Salafi
& Wahabi sebagai kumpulan pendapat manusia yang tidak berdasar pada dalil, sementara kaum
Salafi & Wahabi sendiri yang jelas-jelas hanya memahami dalil secara harfiyah (tekstual)
dengan sombongnya menyatakan diri sebagai orang yang paling sejalan dengan al-Qur'an dan
Sunnah.
background image
BAB 2 KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
KEJANGGALAN KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
Berargumen dengan dalil adalah merupakan suatu keharusan dalam menetapkan suatu
kesimpulan hukum di dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut urusan ibadah. Menurut
kesepakatan para ulama, dalil yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam
agama ada empat (4) sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur'an 2. Sunnah 3. Ijma'
4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan penunjukkan langsungnya di dalam al-
Qur'an, maka dirujuklah kepada Hadis atau Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak
ditemukan, maka dirujuklah ijma' (kesepatakan) para ulama mujtahid berdasarkan isyarat-isyarat
al-Qur'an dan Hadis, dan bila juga tidak ditemukan maka digunakanlah ijtihad lain yang disebut
qiyas yaitu perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut di dalam
al-Qur'an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. (Lihat
Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal.
18-21).
Digunakannya ijma' dan qiyas (yang mana keduanya erat dengan pendekatan akal/logika)
saat tidak ditemukan hukum suatu perkara di dalam al-Qur'an dan Sunnah, tidak berarti
menganggap bahwa wahyu Allah dan Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki kekurangan.
Justeru di sinilah perencanaan Allah Swt. yang Maha Sempurna berlaku, di mana pada satu sisi
manusia dibekali petunjuk pasti yang sangat mendetail di dalam al-Qur'an dan Sunnah
Rasulullah Saw. yang wajib ditaati, sedang di sisi lain (pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah
Saw. tersebut) manusia hanya dibekali prinsip-prinsip dasar, baik dalam bentuk global maupun
isyarat yang penerapannya dapat berlaku di sepanjang zaman dan tempat. Pada sisi inilah Allah
Swt. sengaja memberikan peran bagi akal manusia, di mana manusia itu disuruh (bahkan
dihargai) untuk menggunakan akalnya agar dapat memahami prinsip dasar dan isyarat al-Qur'an
atau Sunnah lalu menerapkannya sesuai keadaan hidup manusia yang selalu mengalami
perubahan dan perkembangan secara alamiah di setiap tempat dan masa, dan manusia memang
ditakdirkan berubah dan berkembang keadaan hidupnya. Bukankah ini sebuah perencanaan yang
sempurna dalam ciptaan Allah Swt.; Ia ciptakan akal manusia, Ia beri panduan umum dan
khusus, lalu Ia suruh manusia menggunakan akal tersebut dan memberinya penghargaan?
Bayangkan, betapa sia-sianya akal yang sudah diciptakan Allah Swt. ini, bila segala
permasalahan hidup manusia semuanya disebutkan dengan mendetail di dalam al-Qur'an atau
Sunnah; betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci al-Qur'an bila harus memuat seluruh
permasalahan manusia sesuai perubahan dan perkembangannya di setiap masa dan tempat mulai
dari masa diciptakannya Nabi Adam As. sampai hari kiamat.; dan sungguh dengan begitu
Rasulullah Saw. tidak perlu mati, beliau harus dihidupkan terus oleh Allah sampai hari kiamat
agar dapat memberikan penjelasan hukum yang pasti setiap kali ada masalah baru yang timbul
dari sebab perubahan atau perkembangan keadaan dalam kehidupan manusia.
Dengan menyembunyikan hukum pasti di dalam al-Qur'an atau Sunnah, Allah telah
memberi ruang kepada manusia untuk berijtihad dengan akalnya, tentunya dengan panduan
prinsip-prinsip yang telah diberikan di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Di sinilah rahmat Allah Swt.