FORUM PEMUDA PECINTA RASULULLAH

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Pecinta Sunnah, Ahlussunah Wal Jama'ah


    Wahabi Menafikan istilah As-Sawaad Al-A’zhom (kelompok mayoritas) Yang Ada Didalam Hadits

    kurniawan
    kurniawan


    Jumlah posting : 19
    Join date : 11.06.11
    Lokasi : Jakarta

    Wahabi Menafikan istilah As-Sawaad Al-A’zhom (kelompok mayoritas) Yang Ada Didalam Hadits Empty Wahabi Menafikan istilah As-Sawaad Al-A’zhom (kelompok mayoritas) Yang Ada Didalam Hadits

    Post by kurniawan Sun 06 Nov 2011, 20:09

    Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatu..

    baru saja aku baca artikel di website wahabi disini http://www.salafy.or.id/?p=1421 disini ada yang perlu aku bantah, berikut tulisan di website itu.

    Telah menjadi sunnatullah kalau kebanyakan manusia merupakan para penentang kebenaran. Maka menjadi ironi, ketika kebenaran kemudian diukur dengan suara mayoritas.

    Apa Itu Hukum Mayoritas ?
    Yang dimaksud dengan hukum mayoritas dalam pembahasan ini adalah suatu ketetapan hukum di mana jumlah mayoritas merupakan patokan kebenaran dan suara terbanyak merupakan keputusan yang harus diikuti, walaupun ternyata bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah .
    Sejauh manakah keabsahan hukum mayoritas ini? Untuk mengetahui jawabannya, perlu ditelusuri terlebih dahulu oknumnya (pengusungnya), yang dalam hal ini adalah manusia, baik tentang hakekat jati dirinya, sikapnya terhadap para rasul, atau pun keadaan mayoritas dari mereka, menurut kacamata syari’at. Karena dengan diketahui keadaan oknum mayoritas, maka akan diketahui pula sejauh mana keabsahan hukum tersebut.

    Hakekat Jati Diri Manusia
    Manusia adalah satu-satunya makhluk Allah yang menyatakan diri siap memikul “amanat berat” yang tidak mampu dilakukan oleh makhluk-makhluk besar seperti langit, bumi dan gunung-gunung. Padahal makhluk yang bernama manusia ini berjati diri dzalum (amat zhalim) dan jahul (amat bodoh). Allah berfirman:
    ÅööäøóÇ ÚóÑóÖúäóÇ ÇúáÃóãóÇäóÉó Úóáóì ÇáÓøóãóÇæóÇÊö æóÇúáÃóÑúÖö æóÇúáÌöÈóÇáö ÝóÃóÈóíúäó Ãóäú íóÍúãöáúäóåóÇ æóÃóÔúÝóÞúäó ãöäúåóÇ æóÍóãóáóåóÇ ÇúáÅöäúÓóÇäõ Åöäøóåõ ßóÇäó ÙóáõæúãðÇ ÌóåõæúáÇð
    “Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzaab: 72)
    Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: ”Allah Ta’ala mengangkat permasalahan amanat yang Dia amanatkan kepada para mukallafiin, yaitu amanat menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang diharamkan, baik dalam keadaan tampak maupun tidak tampak. Dia tawarkan amanat itu kepada makhluk-makhluk besar; langit, bumi dan gunung-gunung sebagai tawaran pilihan bukan keharusan, ”Bila engkau menjalankan dan melaksanakannya niscaya bagimu pahala, dan bila tidak, niscaya kamu akan dihukum.” Maka makhluk-makhluk itu pun enggan untuk memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya, bukan karena menentang Rabb mereka dan bukan pula karena tidak butuh terhadap pahala-Nya. Kemudian Allah tawarkan kepada manusia, maka ia pun siap menerima amanat itu dan siap memikulnya dengan segala kedzaliman dan kebodohan yang ada pada dirinya, maka amanat berat itu pun akhirnya dipikul olehnya” (Taisiirul Kariimir Rahman, hal. 620)
    Allah  Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana tidaklah membiarkan manusia mengarungi kehidupan dengan memikul amanat berat tanpa bimbingan Ilahi. Maka Dia pun mengutus para rasul sebagai pembimbing mereka dan menurunkan Kitab Suci agar berpegang teguh dengannya dan mengambil petunjuk darinya. Allah berfirman:
    áóÞóÏú ÃóÑúÓóáúäóÇ ÑõÓõáóäóÇ ÈöÇúáÈóíøöäóÇÊö æóÃóäúÒóáúäóÇ ãóÚóåõãõ ÇúáßöÊóÇÈó æóÇúáãöíúÒóÇäó áöíóÞõæúãó ÇáäøóÇÓõ ÈöÇáúÞöÓúØö
    “Sungguh Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab Suci dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Al-Hadiid: 25)

    Sikap Manusia Terhadap Para Rasul yang Membimbing Mereka
    Namun, demikianlah umat manusia… para rasul yang membimbing mereka itu justru ditentang, didustakan dan dihinakan.
    Allah berfirman:
    Ðáößó ÈöÃóäøóåõãú ßóÇäóÊú ÊóÃúÊöíúåöãú ÑõÓõáõåõãú ÈöÇáúÈóíøöäóÇÊö ÝóßóÝóÑõæúÇ ÝóÃóÎóÐóåõãõ Çááå Åöäøóåõ Þóæöíøñ ÔóÏöíúÏõ ÇáúÚöÞóÇÈö

    “Yang demikian itu dikarenakan telah datang para rasul kepada mereka dengan membawa bukti-bukti nyata, lalu mereka kafir (menentang para rasul tersebut), maka Allah mengadzab mereka. Sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Dahsyat hukuman-Nya.”
    (Al-Mukmin: 22)

    ÝóÅöäú ßóÐøóÈõæúßó ÝóÞóÏú ßõÐøúÈó ÑõÓõáñ ãöäú ÞóÈúáößó ÌóÇÁõæúÇ ÈöÇáúÈóíøäóÇÊö æóÇáÒøõÈõÑö æóÇáúßöÊóÇÈö ÇáúãõäöíúÑö

    “Jika mereka mendustakan kamu (Muhammad), maka sesungguhnya para rasul sebelummu pun telah didustakan (pula), mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan Kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.” (Ali Imran: 184)

    ßóÐøóÈóÊú ÞóÈúáóåõãú Þóæúãõ äõæúÍò æóÇúáÃóÍúÒóÇÈõ ãöäú ÈóÚúÏöåöãú æóåóãøóÊú ßõáøõ ÃõãøóÉò ÈöÑóÓõæú áöåöãú áöíóÃúÎõÐõæúåõ æóÌóÇÏóáõæúÇ ÈöÇáúÈóÇØöáö áöíõÏúÍöÖõæúÇ Èöåö ÇáúÍóÞøó ÝóÃóÎóÐúÊõåõãú ÝóßóíúÝó ßóÇäó ÚöÞóÇÈö

    “Sebelum mereka, kaum Nuh dan golongan-golongan yang bersekutu sesudah mereka telah mendustakan (rasul), dan tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap rasul mereka untuk menawannya, dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu, oleh karena itu Aku adzab mereka. Maka betapa (pedihnya) adzab-Ku.” (Al-Mukmin: 5)

    æóáóÞóÏö ÇÓúÊõåúÒöìÁó ÈöÑõÓõáò ãöäú ÞóÈúáößó ÝóÍóÇÞó ÈöÇáøóÐöíúäó ÓóÎöÑõæúÇ ãöäúåõãú ãóÇ ßóÇäõæúÇ Èöåö íóÓúÊóåúÒöÁõæúäó

    “Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang yang mencemoohkan para rasul itu adzab atas apa yang selalu mereka perolok-olokkan.” (Al-Anbiyaa’: 41)

    Bagaimanakah Keadaan Mayoritas Dari Mereka ?
    Bila kita merujuk kepada Al-Qur’anul Karim, maka kita akan dapati bahwa keadaan mayoritas umat manusia adalah:
    1. Tidak beriman
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    Åöäøóåõ ÇáúÍóÞøõ ãöäú ÑóÈøößó æóáßöäøó ÃóßúËóÑó ÇáäøóÇÓö áÇó íõÄúãöäõæúäó

    “Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi mayoritas manusia tidak beriman.” (Huud: 17)

    2. Tidak bersyukur
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    Åöäøó Çááå áóÐõæú ÝóÖúáò Úóáóì ÇáäøóÇÓò æóáßöäøó ÃóßúËóÑó ÇáäøóÇÓö áÇó íóÔúßõÑõæúäó
    “Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi mayoritas manusia tidak bersyukur.” (Al-Baqarah: 243)

    3. Benci kepada kebenaran
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    áóÞóÏú ÌöÆúäóÇßõãú ÈöÇáúÍóÞøö æóáßöäøó ÃóßúËóÑóßõãú áöáúÍóÞøö ßóÇÑöåõæúäó
    “Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian, tetapi mayoritas dari kalian membenci kebenaran itu.” (Az-Zukhruf: 78)
    4. Fasiq (keluar dari ketaatan)
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    æóÅöäøó ßóËöíúÑðÇ ãöäó ÇáäóøÇÓö áóÝóÇÓöÞõæúäó
    “Dan sesungguhnya mayoritas manusia adalah orang-orang yang fasiq.”
    (Al-Maidah: 49)
    5. Lalai dari ayat-ayat Allah.
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    æóÅöäøó ßóËöíúÑðÇ ãöäó ÇáäøóÇÓö Úóäú ÁóÇíÊöäóÇ áóÛóÇÝöáõæúäó
    “Dan sesungguhnya mayoritas dari manusia benar-benar lalai dari ayat-ayat Kami.”
    (Yunus: 92)
    6. Menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu mereka.
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    æóÅöäøó ßóËöíúÑðÇ áøóíõÖöáøõæúäó ÈöÃóåúæóÇÆöåöãú ÈöÛóíúÑö Úöáúãò
    “Sesungguhnya mayoritas (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu.” (Al-An’aam: 119)
    7. Tidak mengetahui agama yang lurus.
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    Ðáößó ÇáÏøöíúäõ ÇáÞóíøöãõ æóáßöäøó ÃóßúËóÑó ÇáäøóÇÓö áÇó íóÚúáóãõæúäó
    “Itulah agama yang lurus, tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Yusuf: 40)
    8. Mengikuti persangkaan belaka.
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    Åöäú íóÊøóÈöÚõæúäó ÅöáÇøó ÇáÙøóäøó æóÅöäú åõãú ÅöáÇøó íóÎúÑõÕõæúäó
    “Mereka (mayoritas manusia) tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’aam: 116)
    9. Penghuni Jahannam.
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    æóáóÞóÏú ÐóÑóÃúäóÇ áöÌóåóäøóãó ßóËöíúÑðÇ ãöäó ÇáúÌöäøö æóÇúáÅöäúÓö
    “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahannam mayoritas dari jin dan manusia.” (Al-A’raaf: 179)

    Refleksi terhadap Hukum Mayoritas
    Dari apa yang telah lalu, akhirnya kita pun mengetahui bahwa ternyata oknum mayoritas tersebut (manusia) berjati diri amat dzalim dan amat bodoh, penentangannya terhadap para rasul yang membimbing mereka luar biasa, demikian pula mayoritas dari mereka tidak beriman, tidak bersyukur, benci kepada kebenaran, keluar dari ketaatan, lalai dari ayat-ayat Allah , menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu dan tanpa ilmu, tidak mengetahui agama yang lurus, mengikuti persangkaan belaka, dan penghuni Jahannam.
    Demikianlah kacamata syari’at memandang oknum mayoritas. Bila demikian kenyataannya, lalu bagaimana dengan hukum mayoritas itu sendiri???
    Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menggolongkan hukum mayoritas ini ke dalam kaidah-kaidah yang dipegangi oleh orang-orang jahiliyyah, bahkan termasuk kaidah terbesar yang mereka punyai. Beliau berkata: “Sesungguhnya di antara kaidah terbesar mereka adalah berpegang dan terbuai dengan jumlah mayoritas, mereka menilai suatu kebenaran dengannya dan menilai suatu kebatilan dengan kelangkaannya dan dengan sedikitnya orang yang melakukan..(Kitab Masail Al-ahiliyyah, masalah ke-5).

    Asy-syaikh Shalih bin Fauzan Al-auzan berkata: “Di antara masalah jahiliyyah adalah; bahwa mereka menilai suatu kebenaran dengan jumlah mayoritas, dan menilai suatu kesalahan dengan jumlah minoritas, sehingga sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti oleh segelintir orang berarti salah. Inilah patokan yang ada pada diri mereka di dalam menilai yang benar dan yang salah. Padahal patokan ini tidak benar, karena Allah Jalla wa ‘Alaa berfirman:
    æóÅöäú ÊõØöÚú ÃóßúËóÑóãóäú Ýöí ÇúáÃóÑúÖö íõÖöáøõæúßó Úóäú ÓóÈöíúáö Çááå Åöäú íóÊøóÈöÚõæúäó ÅöáÇøó ÇáÙøóäøó æóÅöäú åõã ÅöáÇøó íóÎúÑõÕõæúäó
    “Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah  ).” (Al-An’aam: 116)
    Dia juga berfirman:
    æóáßöäøó ÃóßúËóÑó ÇáäøóÇÓö áÇó íóÚúáóãõæúäó
    “Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Al-A’raaf: 187)
    æóãóÇ æóÌóÏúäóÇ öáÃó ßúËóÑöåöãú ãöäú ÚóåúÏò æóÅöäú æóÌóÏúäóÇ ÃóßúËóÑóåõãú áóÝóÇÓöÞõæúäó
    “Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik.” (Al-A’raaf: 102) Dan lain sebagainya.” (Syarh Masail Al-Jahiliyyah, hal. 60).
    Bila demikian hakekat permasalahannya, maka betapa ironisnya pernyataan para budak demokrasi bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Suatu pernyataan sesat yang memposisikan suara rakyat (mayoritas) pada tingkat tertinggi yang tak akan pernah salah bak suara Tuhan. Mau dikemanakan firman-firman Allah di atas?! Yang lebih tragis lagi, orang-orang yang mengkampanyekan diri sebagai “partai islam”….., siang dan malam berteriak “tegakkan syari’at Islam!!”, namun sejak awal kampanyenya yang dibidik adalah suara terbanyak, tak mau tahu suara siapakah itu. Dan ketika duduk di kursi dewan, teriakannya pun hanya sampai pada kata “tegakkan” sedangkan kata “syari’at Islam” tak lagi terdengar. Jangankan menegakkan syari’at Islam, menampakkan syiar Islam pada dirinya saja masih harus mempertimbangkan sekian banyak pertimbangan.
    Terlebih lagi tatkala rapat dan sidang digelar, hasilnya pun berujung pada suara terbanyak. Tak mau tahu, suara siapakah itu….. tak mau peduli, apakah sesuai dengan syariat Islam ataukah justru menguburnya….. tak mau pusing, apakah menguntungkan umat Islam ataukah justru menelantarkannya. Dan ketika hasil sidang tersebut diprotes karena tak selaras dengan syari’at Islam, maka dia pun orang yang pertama kali berkomentar bahwa ini adalah suara mayoritas anggota dewan….., kita harus mempunyai sikap toleransi yang tinggi….., kita harus menjunjung tinggi demokrasi, dan lain sebagainya. Padahal kalau dia belum duduk di kursi dewan, barangkali dialah orang pertama yang menggelar demo1 dengan berbagai macam atribut dan spanduknya. Wallahul Musta’an.
    Demikianlah bila hukum mayoritas dikultuskan. Kesudahannya, akan semakin jauh dari hukum Allah, akan semakin buta tentang syari’at Islam, bahkan akan menjadi penentang terhadap hukum Allah dan syari’at-Nya.

    Para pembaca yang dirahmati Allah….. sesungguhnya masih ada fenomena lain yang perlu untuk direfleksi, yaitu dijadikannya hukum mayoritas sebagai tolak ukur suatu dakwah. Apabila seorang da’i mempunyai banyak pengikut, ceramahnya diputar di seluruh radio nusantara dan akhirnya bergelar “da’i sejuta umat” maka dakwahnya pun pasti benar. Sebaliknya bila seorang da’i pengikutnya hanya sedikit, maka dakwahnya pun dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat. Padahal Allah telah berfirman tentang Nabi Nuh :
    æóãóÇÁóÇãóäó ãóÚóåõ ÅöáÇøó Þóáöíúáñ
    “Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.” (Huud: 40)
    Rasulullah bersabda:
    ÚõÑöÖóÊú Úóáóíøó ÇúáÃõãóãõ, ÝóÑóÃóíúÊõ ÇáäøóÈöíøó æóãóÚóåõ ÇáÑøóåúØõ, æóÇáäøóÈöíøó æóãÚóåõ ÇáÑøóÌõáõ æóÇáÑøóÌõáÇóäö, æóÇáäøóÈöíøó æóáóíúÓó ãóÚóåõ ÃóÍóÏñ …..
    “Telah ditampakkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi tidak ada seorang pun yang bersamanya….” (HR. Al Bukhari no: 5705, 5752, dan Muslim no:220, dari hadits Abdullah bin Abbas).
    Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alus Syaikh berkata: “Dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang berdalih dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama mereka. Tidaklah demikian adanya, bahkan yang semestinya adalah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja”.
    (Taisir Al-‘Azizil Hamid, hal.106).

    Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Tidak boleh tertipu dengan jumlah mayoritas, karena jumlah mayoritas terkadang di atas kesesatan, Allah berfirman:
    æóÅöäú ÊõØöÚú ÃóßúËóÑóãóäú Ýöí ÇúáÃóÑúÖö íõÖöáøõæúßó Úóäú ÓóÈöíúáö Çááå Åöäú íóÊøóÈöÚõæúäó ÅöáÇøó ÇáÙøóäøó æóÅöäú åõã ÅöáÇøó íóÎúÑõÕõæúäó
    “Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah ).”
    (Al-An’aam: 116)

    Jika kita melihat bahwa mayoritas penduduk bumi berada dalam kesesatan, maka janganlah tertipu dengan mereka. Jangan pula engkau katakan: “Sesungguhnya orang-orang melakukan demikian, mengapa aku eksklusif tidak sama dengan mereka?” (Al-Qaulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid, Juz 1 hal. 106)

    Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Maka tolak ukurnya bukanlah banyaknya pengikut suatu madzhab atau perkataan, namun tolak ukurnya adalah benar ataukah batil. Selama ia benar walaupun yang mengikutinya hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang mengikutinya, maka itulah yang harus dipegang (diikuti), karena ia adalah keselamatan. Dan selamanya sesuatu yang batil tidaklah terdukung (menjadi benar-pen) dikarenakan banyaknya orang yang mengikutinya. Inilah tolak ukur yang harus selalu dipegangi oleh setiap muslim.” Beliau juga berkata: “Maka tolak ukurnya bukanlah banyak (mayoritas) atau pun sedikit (minoritas), bahkan tolak ukurnya adalah al haq (kebenaran), barangsiapa di atas kebenaran- walaupun sendirian- maka ia benar dan wajib diikuti, dan jika mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan maka wajib ditolak dan tidak boleh tertipu dengannya. Jadi tolak ukurnya adalah kebenaran, oleh karena itu para ulama berkata: “Kebenaran tidaklah dinilai dengan orang, namun oranglah yang dinilai dengan kebenaran. Barangsiapa di atas kebenaran maka ia wajib diikuti”. (Syarh Masail Al-Jahiliyyah, hal.61)

    Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alus Syaikh berkata: “Hendaknya seorang muslim berhati-hati agar tidak tertipu dengan jumlah mayoritas, karena telah banyak orang-orang yang tertipu (dengannya), bahkan orang-orang yang mengaku berilmu sekalipun. Mereka berkeyakinan di dalam beragama sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang bodoh lagi sesat (mengikuti mayoritas manusia -pen) dan tidak mau melihat kepada apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya”. (Qurratu Uyunil Muwahhidin, dinukil dari ta’liq Kitab Fathul Majid, hal. 83, no. 1)
    Bagaimanakah jika mayoritas berada di atas kebenaran?
    Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Ya, jika mayoritas manusia berada di atas kebenaran, maka ini sesuatu yang baik. Akan tetapi sunnatulloh menunjukkan bahwa mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan.
    æóãóÇ ÃóßúËóÑõ ÇáäøóÇÓö æóáóæú ÍóÑóÕúÊó ÈöãõÄúãöäöíúäó
    “Dan mayoritas manusia tidak akan beriman, walaupun kamu (Muhammad) sangat menginginkannya” (Yusuf: 103)
    æóÅöäú ÊõØöÚú ÃóßúËóÑóãóäú Ýöí ÇúáÃóÑúÖö íõÖöáøõæúßó Úóäú ÓóÈöíúáö Çááåö
    “Dan jika engkau menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah”. (Al-An’aam: 116).” (Syarh Masail Al-Jahiliyyah, hal.62).

    Penutup
    Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya hukum mayoritas bukan dari syari’at Islam, sehingga ia tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur suatu dakwah, manhaj dan perkataan. Tolak ukur yang hakiki adalah kebenaran yang dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman As-Salafus-Shalih.
    Atas dasar ini maka sistem demokrasi yang menuhankan suara mayoritas adalah batil. Demikian pula sikap mengukur benar atau tidaknya suatu dakwah, manhaj dan perkataan dengan hukum mayoritas, merupakan perbuatan batil dan bukan dari syari’at Islam.
    Wallahu A’lam Bish Shawab.

    (Dikutip dari http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=764)

    Ku Jawab :
    Dari artikel mereka diatas bisa dilihat sekali ternyata penulis tidak bisa membedakan antara istilah Mayoritas umat dalam ukuran keseluruhan umat manusia dengan mayoritas umat didalam tubuh Islam.

    berbicara tentang kwantitas dan jumlah yang di ukur didalam tubuh Islam maka hal ini Rasulullah SAW sudah pernah menjelaskan mengenai hal itu,

    Justru Baginda Rasulullah Shallallaahu ‘alaih wa sallam sudah memberikan pedoman bagi kita agar mengikuti as-sawaad al-a’zhom (kelompok mayoritas)....!!!

    Rasulullah mengatakan bahwa kita harus mengukuti kelompok mayoritas tsb, karena ada jaminan dari Rasulullah SAW kelompok yg mayoritas tsb tidak akan masuk kedalam jurang kesesatan, hadits ini sangat kuat, Baginda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam sudah memberikan pedoman bagi kita agar mengikuti as-sawaad al-a’zhom (jama’ah kaum muslimin yang terbanyak), karena kesepakatan mereka (as-sawaad al-a’zhom) mendekati ijma’, sehingga kemungkinan keliru sangatlah kecil.

    Perhatikan hadits berikut :

    حدثنا العباس بن عثمان الدمشقي . حدثنا الوليد بن مسلم . حدثنا معاذ بن رفاعة السلامي . حدثني أبو خلف الأعمى قال سمعت أنس بن مالك يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم : يقول إن أمتي لا تجتمع على ضلالة . فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم

    “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (as-sawad al a’zham).”
    (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidh As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shahih)[/b]



    TAFSIR DAN SYARAH PARA MUHADDITS MENGENAI HADITS AS-SAWAAD Al-A'ZOM (KELOMPOK MAYORITAS)

    Al-Imam as-Suyuthi rahimahullaah
    menafsirkan kata As-sawadul A’zhom sebagai sekelompok (jamaah) manusia yang terbanyak, yang bersatu dalam satu titian manhaj yang lurus. (Lihat: Syarah Sunan Ibnu Majah: 1/283). Menurut al-Hafidz al-Muhaddits Imam Suyuthi, As-Sawad Al-A’zhom merupakan mayoritas umat Islam.

    Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Atsqolani menukil perkataan Imam Ath-Thabari mengenai makna kata “jamaah” dalam hadits Bukhari yang berbunyi, “Hendaknya kalian bersama jamaah”, beliau berkata, “Jamaah adalah As-Sawad Al-A’zhom.” (Lihat Fathul Bari juz 13 hal. 37)

    Ibnu Hajar al-Atsqolani
    pun memaknai “Jama’ah” sebagai As-Sawad Al-A’zhom (mayoritas umat Islam).

    Hadits di atas juga senada dengan hadits yang masyhur dan shohih berikut ini

    اختلفت اليهود على إحدى وسبعين فرقة سبعين من النار وواحدة في الجنة واختلفت النصارى على اثنتين وسبعين فرقة إحدى وسبعون فرقة في النار وواحدة في الجنة وتختلف هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة اثنتان وسبعون في النار وواحدة في الجنة فقلنا : انعتهم لنا قال : السواد الأعظم

    “Umat Yahudi terpecah menjadi 71 firqoh, 70 firqoh di neraka dan 1 firqoh di surga. Umat Nashoro terpecah menjadi 72 firqoh , 71 firqoh di neraka dan 1 firqoh di surga. Umat ini akan terpecah menjadi 73 firqoh, 72 firqoh di neraka dan 1 firqoh di surga.”

    Kami (para sahabat) bertanya, “Tunjukkan sifatnya untuk kami.” Beliau menjawab, “As-Sawad Al-A’zhom.”

    Diriwayatkan oleh Iman Ath-Thabrani dalam Al-Kabir juz 8 hal. 273 nomor 8.051.

    Al Imam Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Tirmidzi secara ringkas. Juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan rijalnya tsiqoh.” (Majma’ Az-Zawaid juz 6 hal. 350 nomor 10.436)

    Begitu juga senada dengan hadits shohih berikut ini

    لا يجمع الله أمر أمتى على ضلالة أبدا اتبعوا السواد الأعظم يد الله على الجماعة من شذ شذ فى النار

    “Allah tidak akan membiarkan ummatku dalam kesesatan selamanya. Ikutilah As-Sawad Al-A’zhom. Tangan (rahmah dan perlindungan) Allah bersama jamaah. Barangsiapa menyendiri/menyempal, ia akan menyendiri/menyempal di dalam neraka.”

    Diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Ibnu Abbas juz 1 hal. 202 nomor 398 dan dari Ibnu Umar juz 1 hal. 199 nomor 391 (Jami’ul Ahadits: 17.515)

    Selanjutnya perhatikan juga hadits shohih berikut ini:

    قال أبو أمامة الباهلي : عليكم بالسواد الأعظم
    رواه عبد الله بن أحمد والبزار والطبراني ورجالهما ثقات



    Abu Umamah Al-Bahili berkata, “Hendaknya kalian bersama As-Sawad Al-A’zhom. (golongan mayoritas umat Islam)”. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dan Al-Bazzar dan Ath-Thabrani, rijal mereka berdua tsiqoh. (Lihat Majma’uz Zawaid nomor 9.097)

    Demikianlah nasehat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam kepada kita, agar kita mengikuti mayoritas umat Islam dan jangan menyendiri/menyempal, karena ancamannya neraka. Apakah Wahabi sengaja menafikan hadits ini? Apakah karena tidak tahu atau karena licik? kalau kata Habibina Munzir Al Musawa bilang "Entahlah para wahabi itu bodoh dalam bahasa
    atau memang sengaja menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka
    lakukan, yaitu bodoh atas syariah dan menyelewengkan makna
    ."

    Padahal Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam telah menjamin bahwa mayoritas umat Islam tidak mungkin berada dalam kesesatan, sebagai umat Islam sudah pasti kita wajib iman/percaya dan tidak ada keragu-raguan setitikpun pada beliau.

    Semoga kita semua tergolong dalam kelompok As-Sawad Al-A’zhom (mayoritas umat Islam) yaitu kaum ahlussunnah wal jama’ah yang selalu berpedoman kepada Al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma’ wa al-Qiyas, yang kemudian pengamalan syari’atnya/fiqhnya berdasarkan salah satu dari 4 madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali), aqidahnya berdasarkan faham Asy’ariyah-Maturidiyah, dan ihsannya mengikuti Syekh Imam Abu Qosim Al-Junaidi Al-Baghdadi.

    Wallahu'alam

      Waktu sekarang Sun 24 Nov 2024, 13:54