Salafi-Wahabi ini jahiliyy adalah mereka paranoid suka memvonis pihak lain melakukan perbuatan yg -menurut kedunguan mereka- “tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw., para sahabatnya, para tabi’in, & tabi’u al-tabi’in; mereka vonis perbuatan seperti itu bid’ah, sesat, & masuk neraka.
Naaah, perbuatan Salafi-Wahabi dalam foto2 pasti tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw., para sahabat, tabi’in, & tabi’u al-tabi’in. Jadi, -berdasarkan paham Wahabi sendiri- perbuatan Salafi-Wahabi dalam foto2 di atas adalah bid’ah, dan karena itu mereka (Salafi-Wahabi) sesat.
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ (رواه أحمد
Rasulullah Saw. bersabda: "Jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan)
di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan
sebab ghuluw (berlebihan) di dalam agama" (HR. Ahmad).
Kaum Salafi & Wahabi menggunakan dalil ini untuk menuduh orang-orang
yang melakukan amalan Maulid, tahlilan, ziarah wali, dan lain
sebagainya sebagai pelaku "ghuluw" (berlebihan) dalam beragama. Sisi
"berlebihan" yang mereka maksud di sini sepertinya adalah merasa tidak
cukup dengan apa yang dicontohkan formatnya oleh Rasulullah Saw. dan
para shahabat beliau, lalu membuat amalan-amalan baru yang –menurut
mereka—dimasukkan ke dalam agama. Padahal seharusnya mereka bisa
membedakan antara "amalan bernuansa agama" dengan "amalan di dalam
agama".
Kegiatan tersebut adalah sebagai kegiatan positif (amal shaleh) yang
mengandung kebaikan dan maslahat bagi orang banyak. Dan dalam
mengupayakan kebaikan atau amal shaleh tidak ada kata "berlebihan",
sebab rumusnya di dalam agama,
"Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik" (QS. At-Taubah: 120).
Jadi, "semakin banyak kebaikan yang dilakukan, semakin besar pula pahala
atau ganjaran yang diberikan". Orang yang banyak berzikir bahkan setiap
waktu, atau orang yang bersedekah setiap hari, atau orang yang banyak
melakukan shalat, mereka tidak bisa dikatakan "berlebihan di dalam
agama", sebab semuanya itu diberi pahala sesuai dengan amalannya.
Para ulama hadis menafsirkan kata "ghuluw" (berlebihan) pada hadis di
atas dengan makna bersikap keras atau melampaui batas. Konotasinya
–sebagaimana konteks hadis itu—adalah bersikap keras dan melampaui batas
dalam hal mencari-cari sesuatu di balik perkara agama yang sebenarnya
mudah dipahami. Hal ini bisa dipahami dari hubungan ghuluw di dalam
hadis tersebut dengan ungkapan "telah binasa orang-orang sebelum
kalian".
Di antara gambaran yang paling umum adalah kasus Bani Israil yang ketika
diperintah untuk menyembelih sapi betina, mereka malah mempersulit diri
dengan banyak bertanya atau mencari-cari perkara yang sangat mendetail
dari sapi itu. Makna seperti ini sesuai dengan riwayat hadis di atas
yang berkenaan dengan peristiwa melontar Jamratul-'Aqabah di Mina, saat
Rasulullah Saw. menyuruh Abdullah bin Abbas Ra. untuk mengambilkan batu
melontar, yang tanpa bertanya lagi tentang ukurannya, segera ia ambilkan
batu seukuran kerikil atau khadzaf (yang dapat dipegang dengan dua
jari). Maka Rasulullah Saw. berkata, "Dengan (batu) yang seperti ukuran
inilah hendaknya kalian melontar. Wahai sekalian manusia, jauhilah oleh
kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa
orang-orang sebelum kalian dengan sebab ghuluw di dalam agama."
Maka, siapakah yang semestinya lebih pantas dibilang "berlebihan di
dalam agama", apakah para ulama dan umat Islam yang berupaya melakukan
kebaikan dan amal shaleh untuk orang banyak; ataukah kaum Salafi &
Wahabi yang selalu mencari-cari pembahasan tentang amalan umat Islam
yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama, kemudian mudah
memvonis dan menuduh dengan vonis dan tuduhan yang tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah Saw.??!
Perhatikanlah vonis-vonis "berlebihan" yang sering dilontarkan oleh kaum
Salafi & Wahabi tentang amalan Maulid, tahlilan, tawassul, ziarah
kubur orang shaleh, dan lain sebagainya, di mana mereka berkata: "Tidak
ada pahalanya!", "sesat!", "sia-sia", "musyrik!", "kafir!", "masuk
neraka!", "tidak ada dalilnya!", "menambah-nambahi agama!",
"mengada-ngada!", "haram!", "jangan bergaul dengan ahli bid'ah!", dan
lain sebagainya.
Tidak cukup dengan itu semua, mereka juga membuat istilah khusus yang
mencibir umat Islam yang senang berziarah kubur para wali dengan sebutan
"Quburiyyun", bahkan lebih tega lagi ketika mereka menyindir umat Islam
yang senang memuji dan menyanjung Rasulullah Saw. dengan sebutan
"Abdun-Nabi" (hamba Nabi) yang mengesankan bahwa para penyanjung
Rasulullah Saw. benar-benar telah menyembah beliau alias melakukan
syirik (lihat Tafsir Seper Sepuluh Dari Al-Qur'an Al-Karim, hal. 95,
buku ajaran Wahabi yang dibagikan Cuma-Cuma).
Perhatikanlah semua ungkapan itu, apakah Rasulullah Saw. mengajarkan
umatnya untuk menghukumi perkara yang tidak jelas larangannya dengan
kalimat-kalimat tersebut?
Pembahasan di atas hanyalah satu contoh dari sekian banyak keserampangan
di dalam berdalil yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam
berfatwa tentang bid'ah. Sikap serampangan itu bukan hanya menunjukkan
kecerobohan atau kekeliruan pemahaman mereka dalam mencari-cari alasan
untuk memvonis dan menghukumi amalan mayoritas umat Islam yang mereka
anggap sebagai bid'ah. Bahkan lebih dari itu, mereka tega menggunakan
dalil-dalil yang sebenarnya berbicara tentang orang-orang kafir dan
musyrik penyembah berhala, mereka berlakukan untuk saudara-saudara
mereka yang muslim!!
Naaah, perbuatan Salafi-Wahabi dalam foto2 pasti tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw., para sahabat, tabi’in, & tabi’u al-tabi’in. Jadi, -berdasarkan paham Wahabi sendiri- perbuatan Salafi-Wahabi dalam foto2 di atas adalah bid’ah, dan karena itu mereka (Salafi-Wahabi) sesat.
Ini adalah foto Rumah Nabi Saw dan Sayyidah Khadijah as, tempat
mereka berdua tinggal selama 28 tahun. Inilah bukti penghancuran yang
dilakukan oleh Wahabi-Salafy terhadap situs-situs sejarah Islam.
ini foto sisa reruntuhan rumah Nabi Saw & Sayyidah Khadijah as yang dilihat lebih dekat.:
Foto di bawah ini adalah reruntuhan pintu masuk ke kamar Rasul Saw di rumah Sayyidah Khadijah as.:
Foto di bawah adalah sisa reruntuhan kamar Rasul Saw dan Sayyidah Khadijah as.:
ini adalah foto reruntuhan tempat Sayyidah Fatimah as, putri kesayangan Rasulullah Saw dilahirkan.:
ini adalah foto reruntuhan mihrab tempat Rasulullah saw biasa melakukan shalat.:
Foto ini adalah makam Sayyidah Khadijah as (yang besar) dan putranya, Qasim (yang kecil) di sudut.:
Tuduhan Wahhabi tentang Ghuluw (Berlebih-lebihan dalam agama)mereka berdua tinggal selama 28 tahun. Inilah bukti penghancuran yang
dilakukan oleh Wahabi-Salafy terhadap situs-situs sejarah Islam.
ini foto sisa reruntuhan rumah Nabi Saw & Sayyidah Khadijah as yang dilihat lebih dekat.:
Foto di bawah ini adalah reruntuhan pintu masuk ke kamar Rasul Saw di rumah Sayyidah Khadijah as.:
Foto di bawah adalah sisa reruntuhan kamar Rasul Saw dan Sayyidah Khadijah as.:
ini adalah foto reruntuhan tempat Sayyidah Fatimah as, putri kesayangan Rasulullah Saw dilahirkan.:
ini adalah foto reruntuhan mihrab tempat Rasulullah saw biasa melakukan shalat.:
Foto ini adalah makam Sayyidah Khadijah as (yang besar) dan putranya, Qasim (yang kecil) di sudut.:
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ (رواه أحمد
Rasulullah Saw. bersabda: "Jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan)
di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan
sebab ghuluw (berlebihan) di dalam agama" (HR. Ahmad).
Kaum Salafi & Wahabi menggunakan dalil ini untuk menuduh orang-orang
yang melakukan amalan Maulid, tahlilan, ziarah wali, dan lain
sebagainya sebagai pelaku "ghuluw" (berlebihan) dalam beragama. Sisi
"berlebihan" yang mereka maksud di sini sepertinya adalah merasa tidak
cukup dengan apa yang dicontohkan formatnya oleh Rasulullah Saw. dan
para shahabat beliau, lalu membuat amalan-amalan baru yang –menurut
mereka—dimasukkan ke dalam agama. Padahal seharusnya mereka bisa
membedakan antara "amalan bernuansa agama" dengan "amalan di dalam
agama".
Kegiatan tersebut adalah sebagai kegiatan positif (amal shaleh) yang
mengandung kebaikan dan maslahat bagi orang banyak. Dan dalam
mengupayakan kebaikan atau amal shaleh tidak ada kata "berlebihan",
sebab rumusnya di dalam agama,
"Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik" (QS. At-Taubah: 120).
Jadi, "semakin banyak kebaikan yang dilakukan, semakin besar pula pahala
atau ganjaran yang diberikan". Orang yang banyak berzikir bahkan setiap
waktu, atau orang yang bersedekah setiap hari, atau orang yang banyak
melakukan shalat, mereka tidak bisa dikatakan "berlebihan di dalam
agama", sebab semuanya itu diberi pahala sesuai dengan amalannya.
Para ulama hadis menafsirkan kata "ghuluw" (berlebihan) pada hadis di
atas dengan makna bersikap keras atau melampaui batas. Konotasinya
–sebagaimana konteks hadis itu—adalah bersikap keras dan melampaui batas
dalam hal mencari-cari sesuatu di balik perkara agama yang sebenarnya
mudah dipahami. Hal ini bisa dipahami dari hubungan ghuluw di dalam
hadis tersebut dengan ungkapan "telah binasa orang-orang sebelum
kalian".
Di antara gambaran yang paling umum adalah kasus Bani Israil yang ketika
diperintah untuk menyembelih sapi betina, mereka malah mempersulit diri
dengan banyak bertanya atau mencari-cari perkara yang sangat mendetail
dari sapi itu. Makna seperti ini sesuai dengan riwayat hadis di atas
yang berkenaan dengan peristiwa melontar Jamratul-'Aqabah di Mina, saat
Rasulullah Saw. menyuruh Abdullah bin Abbas Ra. untuk mengambilkan batu
melontar, yang tanpa bertanya lagi tentang ukurannya, segera ia ambilkan
batu seukuran kerikil atau khadzaf (yang dapat dipegang dengan dua
jari). Maka Rasulullah Saw. berkata, "Dengan (batu) yang seperti ukuran
inilah hendaknya kalian melontar. Wahai sekalian manusia, jauhilah oleh
kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa
orang-orang sebelum kalian dengan sebab ghuluw di dalam agama."
Maka, siapakah yang semestinya lebih pantas dibilang "berlebihan di
dalam agama", apakah para ulama dan umat Islam yang berupaya melakukan
kebaikan dan amal shaleh untuk orang banyak; ataukah kaum Salafi &
Wahabi yang selalu mencari-cari pembahasan tentang amalan umat Islam
yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama, kemudian mudah
memvonis dan menuduh dengan vonis dan tuduhan yang tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah Saw.??!
Perhatikanlah vonis-vonis "berlebihan" yang sering dilontarkan oleh kaum
Salafi & Wahabi tentang amalan Maulid, tahlilan, tawassul, ziarah
kubur orang shaleh, dan lain sebagainya, di mana mereka berkata: "Tidak
ada pahalanya!", "sesat!", "sia-sia", "musyrik!", "kafir!", "masuk
neraka!", "tidak ada dalilnya!", "menambah-nambahi agama!",
"mengada-ngada!", "haram!", "jangan bergaul dengan ahli bid'ah!", dan
lain sebagainya.
Tidak cukup dengan itu semua, mereka juga membuat istilah khusus yang
mencibir umat Islam yang senang berziarah kubur para wali dengan sebutan
"Quburiyyun", bahkan lebih tega lagi ketika mereka menyindir umat Islam
yang senang memuji dan menyanjung Rasulullah Saw. dengan sebutan
"Abdun-Nabi" (hamba Nabi) yang mengesankan bahwa para penyanjung
Rasulullah Saw. benar-benar telah menyembah beliau alias melakukan
syirik (lihat Tafsir Seper Sepuluh Dari Al-Qur'an Al-Karim, hal. 95,
buku ajaran Wahabi yang dibagikan Cuma-Cuma).
Perhatikanlah semua ungkapan itu, apakah Rasulullah Saw. mengajarkan
umatnya untuk menghukumi perkara yang tidak jelas larangannya dengan
kalimat-kalimat tersebut?
Pembahasan di atas hanyalah satu contoh dari sekian banyak keserampangan
di dalam berdalil yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam
berfatwa tentang bid'ah. Sikap serampangan itu bukan hanya menunjukkan
kecerobohan atau kekeliruan pemahaman mereka dalam mencari-cari alasan
untuk memvonis dan menghukumi amalan mayoritas umat Islam yang mereka
anggap sebagai bid'ah. Bahkan lebih dari itu, mereka tega menggunakan
dalil-dalil yang sebenarnya berbicara tentang orang-orang kafir dan
musyrik penyembah berhala, mereka berlakukan untuk saudara-saudara
mereka yang muslim!!