Bagi kaum Salafi & Wahabi, Syaikh Nashiruddin al-Albani adalah ulama besar dan ahli hadis yang utama. Karya-karyanya dalam bidang hadis sangat banyak dan sering dijadikan rujukan utama oleh kaum Salafi & Wahabi dalam menghukumi riwayat hadis. Yang sedemikian karena al-Albani sangat gemar meneliti dan mengomentari hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab para ulama. Pada puncaknya, al-Albani menyusun kitab-kitab khusus mengenai hadis-hadis shahih, dha'if (lemah), dan maudhu' (palsu), baik yang berkenaan dengan hadis-hadis yang ada di dalam kitab-kitab para ulama, maupun yang ia susun sendiri dengan tajuk silsilah.
Kaum Salafi & Wahabi menganggap sepertinya al-Albani adalah ahli hadis yang sangat menguasai bidangnya, sehingga bagi sebagian mereka seperti ada kepuasan hati ketika sudah mengetahui pendapat al-Albani tentang hadis yang mereka bahas, dan seolah mereka sudah mencapai hasil penilaian final saat menyebutkan "hadis ini dishahihkan al-Albani" atau "al-Albani mendha'ifkan hadis ini".
Ada dua hal yang penting dalam pembahasan poin ini yang penulis anggap perlu diketahui oleh para pembaca, yaitu:
1. Status hadis dha'if.
2. Kedudukan Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam menilai hadis.
1. Status Hadis Dha'if (Lemah)
Di kalangan masyarakat awam, penulis melihat adanya kecenderungan menganggap bahwa hadis dha'if (lemah) sebagai hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam melakukan suatu amalan. Hal ini diakibatkan oleh penyebutannya yang seringkali terkesan negatif dan terpisah-pisah (yaitu hanya menyebut kelemahan suatu riwayat hadis tanpa mengkonfirmasikannya dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, yang mungkin dapat mengangkat statusnya dari kelemahan). Padahal, kelemahan suatu riwayat bisa sangat relatif sifatnya, bisa sedikit dan bisa juga banyak. Dan apa yang mungkin tidak diketahui oleh seorang periwayat hadis secara pasti, sangat mungkin diketahui oleh periwayat yang lain, sebagaimana sisi kekuatan suatu riwayat hadis yang diketahui oleh seorang ahli hadis, sangat mungkin tidak diketahui oleh ahli hadis yang lain. Imam Ibnu Katsir menyebutkan:
وقد نبه الشيخ أبو عمرو ههنا على أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعير الحكم بضعفه في نفسه، إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يروى إلا من هذا الوجه. (الباعث الحثيث شرح اختصار علوم الحديث للحافظ ابن كثير، أحمد مجمد شاكر، دار الكتب العلمية، بيروت، ص. 85)
"Dan Syaikh Abu 'Amr telah memperingati di sini bahwasanya tidak lazim menghukumi kedha'ifan sanad (jalur riyawat) suatu hadis yang dianggap cacat semata-mata dari hukum dha'ifnya sanad hadis tersebut, dikarenakan ter kadang hadis itu memiliki pensanadan (jalur periwayatan) lain, kecuali bila ada seorang Imam hadis yang menyatakan bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan kecuali hanya melalui jalur ini." (Lihat al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtishar 'Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, hal. 85).
Pada kitab dan halaman yang sama, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menerangkan ungkapan itu dengan penjelasan berikut:
من وجد حديثا بإسناد ضعيف، فلأحوط أن يقول: "إنه ضعيف بهذا الإسناد"، ولا يحكم بضعف المتن –مطلقا من غير تقييد- بمجرد ضعف ذلك الإسناد، فقد يكون الحديث واردا بإسناد آخر صحيح، إلا أن يجد الحكم بضعف المتن منقولا عن إمام من الحفاظ والمطلعين على الطرق.
"Siapa yang mendapati sebuah hadis dengan pensanadan (jalur periwayatan) yang dha'if, maka yang lebih aman hendaknya ia berkata, 'sesungguhnya hadis ini dha'if dengan jalur periwayatan ini', dan matan (redaksi/lafaz) hadis tersebut tidak dihukumi dha'if –secara umum tanpa ikatan— semata-mata karena lemahnya jalur periwayatan tersebut, maka terkadang hadis tersebut datang (diriwayatkan) dengan jalur periwayatan lain yang shahih, kecuali bila ditemukan hukum kedha'ifan matan (redaksi/lafaz)nya yang dinukil dari seorang Imam dari kalangan Huffazh (penghafal hadis) yang meneliti jalan-jalannya (jalur-jalur periwayatan hadis).
Penjelasan di atas adalah kelaziman yang harus dilakukan seorang penerima hadis pada saat ia mendapatkan informasi bahwa suatu hadis itu dha'if (lemah), di mana ia tidak serta merta langsung menyatakan hukum dha'if secara mutlak, apalagi menyatakan bahwa hadis dha'if tersebut tidak boleh diamalkan atau dijadikan hujjah atau dalil.
Hadis dha'if berbeda dari hadis maudhu' (palsu). Hadis dha'if tetap harus diakui sebagai hadis, dan menjadikannya sebagai dalil atau dasar untuk melakukan suatu amalan kebaikan yang berkaitan dengan fadha'il al-a'mal (keutamaan amalan) adalah sah menurut kesepakan para ulama hadis. Perhatikan isyarat-isyarat para ulama berikut ini:
مع أنهم أجمعوا على جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال (شرح سنن ابن ماجه ج: 1 ص: 98)
"… sementara mereka (para ahli hadis) telah berijma' (bersepakat) atas bolehnya mengamalkan hadis dha'if (lemah) di dalam fadha'il al-a'mal (keutamaan amalan)" (lihat Syarh Sunan Ibnu Majah, juz 1, hal. 98).
باب التشدد في أحاديث الأحكام والتجوز في فضائل الأعمال. قد ورد واحد من السلف انه لا يجوز حمل الأحاديث المتعلقة بالتحليل والتحريم الا عمن كان بريئا من التهمة بعيدا من الظنة واما أحاديث الترغيب والمواعظ ونحو ذلك فإنه يجوز كتبها عن سائر المشايخ (الكفاية في علم الرواية، الخطيب البغدادي، ج. 1، ص. 133)
"Bab bersikap ketat pada hadis-hadis hukum, dan bersikap longgar pada fadha'il al-a'mal. Telah datang satu pendapat dari seorang ulama salaf bahwasanya tidak boleh membawa hadis-hadis yang berkaitan dengan penghalalan dan pengharaman kecuali dari orang (periwayat) yang terbebas dari tuduhan, jauh dari dugaan. Adapun hadis-hadis targhib (stimulus/anjuran) dan mawa'izh (nasehat) dan yang sepertinya, maka boleh menulisnya (meriwayatkannya) dari seluruh masyayikh (para periwayat hadis)" (lihat al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtishar 'Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, hal. 85).
قال: ويجوز رواية ما عدا الموضوع في باب الترغيب والترهيب، والقصص والمواعظ، ونحو ذلك، إلا في صفات الله عز وجل، وفي باب الحلال والحرام. (الباعث الحثيث شرح اختصار علوم الحديث للحافظ ابن كثير، أحمد مجمد شاكر، دار الكتب العلمية، ص. 85)
"(Ibnu Katsir) berkata: 'Dan boleh meriwayatkan selain hadis maudhu' (palsu) pada bab targhib (stimulus/anjuran) dan tarhib (ancaman), kisah-kisah dan nasehat, dan yang seperti itu, kecuali pada sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla dan pada bab halal & haram"(lihat al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtishar 'Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, hal. 85).
Dan banyak lagi pernyataan-pernyataan ulama hadis tentang hal tersebut yang tidak mungkin disebutkan keseluruhannya di sini.
Kaitannya dengan pembahasan bid'ah adalah bahwa kaum Salafi & Wahabi terkesan mudah mengkategorikan suatu amalan sebagai bid'ah, atau minimal sebagai amalan yang harus dihindari hanya karena hadis yang dijadikan dalil untuk itu mereka anggap dha'if. Padahal, amalan-amalan yang didasari oleh hadis-hadis dha'if tersebut tergolong fadha'il al-a'mal (keutamaan amalan) atau furu' (perkara cabang) yang bukan pokok di dalam penentuan hukum agama. Contohnya, hadis-hadis yang dijadikan dalil untuk menghadiahkan pahala bacaan al-Qur'an kepada mayit. Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi menyatakan:
واستدلوا على الوصول، وبالقياس على ما تقدم من الدعاء والصدقة والصوم والحج والعتق، فإنه لا فرق في نقل الثواب بين أن يكون عن حج أو صدقة أو وقف أو دعاء أو قراءة، وبالأحاديث الآتي ذكرها، وهي وإن كانت ضعيفة، فمجموعها يدل على أن لذلك أصلا، وبأن المسلمين ما زالوا في كل عصر، يجتمعون ويقرؤون لموتاهم من غير نكير، فكان ذلك إجماعا. ذكر ذلك كله الحافظ شمس الدين بن عبد الواحد المقدسي الحنبلي في جزء ألفه في المسألة. (شرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور، الحافظ جلال الدين السيوطي، دار الفكر، بيروت، ص. 269)
"Dan mereka (jumhur ulama) mengambil dalil atas sampainya (hadiah pahala kepada mayit), dan dengan qiyas kepada apa yang telah disebutkan daripada do'a, sedekah, puasa, haji, dan memerdekakan budak, maka sesungguhnya tidak ada beda dalam hal memindahkan pahala antara entahkah amalan itu haji, sedekah, wakaf, do'a, atau bacaan al-Qur'an. Dan dengan hadis-hadis yang akan disebutkan, meskipun dha'if, maka semuanya menunjukkan bahwa hal tersebut (menghadiahkan pahala kepada mayit) memiliki asal (landasan di dalam agama), dan bahwa kaum muslimin di setiap masa masih terus berkumpul dan membacakan al-Qur'an untuk mayit-mayit mereka tanpa ada yang mengingkarinya, maka menjadilah hal itu sebagai ijma'. Semua itu telah disebutkan oleh al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi al-Hanbali di dalam sebuah juz yang ia tulis tentang masalah tersebut." (Lihat Syarh al-Shudur bi Syarh Hal al-Mauta wa al-Qubur, al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi, Dar el-Fikr, Beirut, hal. 269).
Demikianlah contoh kearifan para ulama hadis dalam menilai dan menyikapi dalil-dalil yang secara zhahir dianggap dha'if. Sayangnya sikap seperti ini tidak ditiru oleh orang-orang yang gemar sekali menuduh bid'ah setiap perkara baru berbau agama. Terkadang bermodalkan sedikit pengetahuan tentang tahqiq al-hadits (penelitian hadis) mereka dengan mudahnya mencampakkan suatu amalan ke dalam keranjang bid'ah sesat hanya karena mereka nilai dalilnya dha'if (lemah).
Ini adalah sebuah masalah yang kerapkali muncul di kalangan para pelajar ilmu hadis, terutama bagi mereka yang baru merasa bisa meneliti hadis sendiri. Yang kemudian menambah masalah tersebut semakin tidak karuan adalah ketika dalam menyebutkan kedha'ifan hadis tersebut, orang-orang tersebut sering mendasarinya dengan penilaian hadis menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani yang kredibilitasnya tidak diakui oleh para ulama hadis, sebagaimana akan dibahas setelah ini.
2. Kedudukan Syaikh Nashiruddin al-Albani Dalam Menilai Hadis
Syaikh Nashiruddin al-AlBani adalah nama yang tidak asing di kalangan para pelajar ilmu hadis belakangan ini. Namanya banyak dicantumkan oleh para penulis buku-buku Islam (terutama yang berpaham Salafi & Wahabi) saat mengomentari suatu hadis. Karya-karyanya juga sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh para pengagumnya, sehingga namanya kini juga banyak didapati di toko-toko buku dan stan-stan pameran buku, berhubung penerbit-penerbit buku atau majalah berhaluan Salafi & Wahabi belakangan sudah semakin menjamur.
Akan tetapi, tahukah anda, bahwa sesungguhnya kepiawaian Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam menilai hadis diragukan oleh para ulama hadis, bahkan cenderung tidak diakui, menimbang bahwa beliau tidak memiliki jalur keilmuan yang jelas dalam bidang tersebut. Lebih jelasnya, penulis akan menyebutkan sekelumit gambaran tentang pribadi Syaikh al-Albani ini sebagaimana ditulis oleh Tim Bahtsul Masa'il PCNU Jember di dalam buku Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik" (H. Mahrus Ali), halaman 245-247 sebagai berikut:
Dewasa ini tidak sedikit di antara pelajar Ahlussunnah Waljama'ah yang tertipu dengan karya-karya al-Albani dalam bidang ilmu hadits, karena belum mengetahui siapa sebenarnya al-Albani itu. Pada mulanya, al-Albani adalah seorang tukang jam. Ia memiliki kegemaran membaca buku. Dari kegemarannya ini, ia curahkan untuk mendalami ilmu hadits secara otodidak, tanpa mempelajari hadits dan ilmu agama yang lain kepada para ulama, sebagaimana yang menjadi tradisi ulama salaf dan ahli hadits. Oleh karena itu al-Albani tidak memiliki sanad hadits yang mu'tabar (diakui-red). Kemudian ia mengaku sebagai pengikut salaf, padahal memiliki akidah yang berbeda dengan mereka, yaitu aqidah Wahhabi dan tajsim (menafsirkan ayat-ayat tentang fisik Allah apa adanya-red).
Oleh karena akidah al-Albani yang berbeda denga akidah ulama ahli hadits dan kaum Muslimin, maka hadits-hadits yang menjadi hasil kajiannya sering bertentangan dengan pandangan ulama ahli hadits. Tidak jarang al-Albani menilai dha'if dan maudhu' terhadap hadits-hadits yang disepakati keshahihannya oleh para hafizh, hanya dikarenakan hadits tersebut berkaitan dengan dalil tawassul. Salah satu contoh misalnya, dalam kitabnya al-Tawassul Anwa'uhu wa Ahkamuhu (cet. 3, hal. 128), al-Albani mendha'ifkan hadits Aisyah Ra. yang diwayatkan oleh ad-Darimi dalam al-Sunan-nya, dengan alasan dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang bernama Sa'id bin Zaid, saudara Hammad bin Salamah. Padahal dalam kitabnya yang lain, al-Albani sendir telah menilai Sa'id bin Zaid ini sebagai perawi yang hasan (baik) dan jayyid (bagus) haditsnya yaitu dalam kitabnya Irwa' al-Ghalil (5/338).
Di antara Ulama Islam yang mengkritik al-Albani adalah al-Imam al-Jalil Muhammad Yasin al-Fadani penulis kitab al-Durr al-Mandhud Syarh Sunan Abi Dawud dan Fath al-'Allam Syarh Bulugh al-Maram; al-Hafizh Abdullah al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdul Aziz al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdullah al-Harari al-Abdari dari Lebanon pengarang Syarh Alfiyah al-Suyuthi fi Mushthalah al-Hadits; al-Muhaddits Mahmud Sa'id Mamduh dari Uni Emirat Arab pengarang kitab Raf'u al-Manarah li-Takhrij Ahadits al-Tawassul wa al-Ziyarah; al-Muhaddits Habiburrahman al-A'zhami dari India; Syaikh Muhammad bin Ismail al-Anshari seorang peniliti Komisi Tetap Fatwa Wahhabi dari Saudi Arabia; Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Khazraji menteri agama dan wakaf Uni Emirat Arab; Syaikh Badruddin Hasan Dayyab dari Damaskus; Syaikh Muhammad Arif al-Juwaijati; Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf dari Yordania; al-Imam al-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dari Mekkah; Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin dari Najd (ulama Wahabi-red) yang menyatakan bahwa al-Albani tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali; dan lain-lain. Masing-masing ulama tersebut telah mengarang bantahan terhadap al-Albani (sebagian dari buku-buku al-Albani dan bantahannya ada pada perpustakaan kami [Tim PCNU Jember-red]).
Tulisan Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal al-Albani tersebut. Beliau mencatat seribu lima ratus (1500) kesalahan yang dilakukan al-Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian ilmiah beliau, ada tujuh ribu (7000) kesalahan fatal dalam buku-buku yang ditulis al-Albani. Dengan demikian, apabila mayoritas ulama sudah menegaskan penolakan tersebut, berarti Nashiruddin al-Albani itu memang tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan.
Kenyataan tersebut di atas juga diakui oleh Syaikh Yusuf Qardhawi di dalam tanggapan beliau terhadap al-Albani yang mengomentari hadis-hadis di dalam kitab beliau berjudul al-Halal wal-Haram fil-Islam, sebagai berikut:
Oleh sebab itu, penetapan Syaikh al-Albani tentang dha'if-nya suatu hadits bukan merupakan hujjah yang qath'I (pasti-red) dan sebagai kata pemutus. Bahkan dapat saya katakan bahwa Syaikh al-Albani hafizhahullah kadang-kadang melemahkan suatu hadits dalam satu kitab dan mengesahkannya (menshahihkannya-red) dalam kitab lain. (Lihat Halal dan Haram , DR. Yusuf Qardhawi, Robbani Press, Jakarta, 2000, hal. 417).
Syaikh Yusuf Qardhawi juga banyak menghadirkan bukti-bukti kecerobohan al-Albani dalam menilai hadis yang sekaligus menunjukkan sikapnya yang "plin-plan", sehingga hasil penelitiannya terhadap hadis sangat diragukan dan tidak dapat dijadikan pedoman. Belum lagi bila menilik fatwa-fatwa al-Albani yang kontroversial, maka semakin tampaklah cacat yang dimilikinya itu.
Di antara fatwa-fatwa al-Albani yang kontroversial itu sebagaimana disebut di dalam buku Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik" (H. Mahrus Ali), halaman 241-245 adalah :
1. Mengharamkan memakai cincin, gelang, dan kalung emas bagi kaum wanita
2. Mengharamkan berwudhu dengan air yang lebih dari satu mud (sekitar setengah liter) dan mengharamkan mandi dengan air yang lebih dari lima mud (sekitar tiga liter).
3. Mengharamkan shalat malam melebihi 11 raka'at.
4. Mengharamkan memakai tasbih (penghitung) untuk berdzikir.
5. Melarang shalat tarawih melebihi 11 raka'at.
Ada pula fatwa-fatwanya yang nyeleneh, seperti: Menganggap adzan kedua di hari Jum'at sebagai bid'ah yang tidak boleh dilakukan (lihat al-Ajwibah al-Nafi'ah), menganggap bid'ah berkunjung kepada keluarga dan sanak famili pada saat hari raya, mengharuskan warga Muslim Palestina agar keluar dari negeri mereka dan menganggap yang masih bertahan di Palestina adalah kafir (lihat Fatawa al-Albani, dikumpulkan oleh 'Ukasyah Abdul Mannan, hal. 18), mengajak kaum Muslimin untuk membongka al-Qubbah al-Khadhra' (kubah hijau yang menaungi makan Rasulullah Saw.) dan mengajak mengeluarkan makan Rasulullah Saw. dan Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar ke lokasi luar Masjid Nabawi (lihat Tahdzir al-Sajid min Ittikhadz al-Qubur Masajid, hal. 68), dan bahkan al-Albani berani menyatakan secara bahwa sikap Imam Bukhari dalam menta'wil sebuah ayat di dalam kitab Shahih Bukhari adalah sikap yang tidak pantas dilakukan seorang Muslim yang beriman (artinya secara tidak langsung ia telah menuduh al-Bukhari kafir dengan sebab ta'wilnya tersebut) (lihat Fatawa al-Albani, hal. 523).
Jadi, setelah mengetahui kenyataan yang sedemikian buruknya tentang kredibilitas al-Albani dalam kegemarannya mengomentari hadis-hadis Rasulullah Saw. yang terdapat di berbagai kitab para ulama, maka orang-orang berakal sehat tidak akan lagi memandang "pantas" untuk menjadikan karya-karya al-Albani sebagai rujukan ilmiah, apalagi dalam rangka memvonis suatu amalan sebagai bid'ah hanya karena dalilnya didha'ifkan oleh al-Albani. Kejanggalan al-Albani itu bahkan juga dirasakan oleh ulama Wahabi seperti al-'Utsaimin dan yang lainnya, sehingga para pengikut Salafi & Wahabi (terutama yang ada di Indonesia) tidak sepantasnya mengunggulkan karya-karya al-Albani, apalagi menerbitkan dan menyebarluaskannya.
Kaum Salafi & Wahabi menganggap sepertinya al-Albani adalah ahli hadis yang sangat menguasai bidangnya, sehingga bagi sebagian mereka seperti ada kepuasan hati ketika sudah mengetahui pendapat al-Albani tentang hadis yang mereka bahas, dan seolah mereka sudah mencapai hasil penilaian final saat menyebutkan "hadis ini dishahihkan al-Albani" atau "al-Albani mendha'ifkan hadis ini".
Ada dua hal yang penting dalam pembahasan poin ini yang penulis anggap perlu diketahui oleh para pembaca, yaitu:
1. Status hadis dha'if.
2. Kedudukan Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam menilai hadis.
1. Status Hadis Dha'if (Lemah)
Di kalangan masyarakat awam, penulis melihat adanya kecenderungan menganggap bahwa hadis dha'if (lemah) sebagai hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam melakukan suatu amalan. Hal ini diakibatkan oleh penyebutannya yang seringkali terkesan negatif dan terpisah-pisah (yaitu hanya menyebut kelemahan suatu riwayat hadis tanpa mengkonfirmasikannya dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, yang mungkin dapat mengangkat statusnya dari kelemahan). Padahal, kelemahan suatu riwayat bisa sangat relatif sifatnya, bisa sedikit dan bisa juga banyak. Dan apa yang mungkin tidak diketahui oleh seorang periwayat hadis secara pasti, sangat mungkin diketahui oleh periwayat yang lain, sebagaimana sisi kekuatan suatu riwayat hadis yang diketahui oleh seorang ahli hadis, sangat mungkin tidak diketahui oleh ahli hadis yang lain. Imam Ibnu Katsir menyebutkan:
وقد نبه الشيخ أبو عمرو ههنا على أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعير الحكم بضعفه في نفسه، إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يروى إلا من هذا الوجه. (الباعث الحثيث شرح اختصار علوم الحديث للحافظ ابن كثير، أحمد مجمد شاكر، دار الكتب العلمية، بيروت، ص. 85)
"Dan Syaikh Abu 'Amr telah memperingati di sini bahwasanya tidak lazim menghukumi kedha'ifan sanad (jalur riyawat) suatu hadis yang dianggap cacat semata-mata dari hukum dha'ifnya sanad hadis tersebut, dikarenakan ter kadang hadis itu memiliki pensanadan (jalur periwayatan) lain, kecuali bila ada seorang Imam hadis yang menyatakan bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan kecuali hanya melalui jalur ini." (Lihat al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtishar 'Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, hal. 85).
Pada kitab dan halaman yang sama, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menerangkan ungkapan itu dengan penjelasan berikut:
من وجد حديثا بإسناد ضعيف، فلأحوط أن يقول: "إنه ضعيف بهذا الإسناد"، ولا يحكم بضعف المتن –مطلقا من غير تقييد- بمجرد ضعف ذلك الإسناد، فقد يكون الحديث واردا بإسناد آخر صحيح، إلا أن يجد الحكم بضعف المتن منقولا عن إمام من الحفاظ والمطلعين على الطرق.
"Siapa yang mendapati sebuah hadis dengan pensanadan (jalur periwayatan) yang dha'if, maka yang lebih aman hendaknya ia berkata, 'sesungguhnya hadis ini dha'if dengan jalur periwayatan ini', dan matan (redaksi/lafaz) hadis tersebut tidak dihukumi dha'if –secara umum tanpa ikatan— semata-mata karena lemahnya jalur periwayatan tersebut, maka terkadang hadis tersebut datang (diriwayatkan) dengan jalur periwayatan lain yang shahih, kecuali bila ditemukan hukum kedha'ifan matan (redaksi/lafaz)nya yang dinukil dari seorang Imam dari kalangan Huffazh (penghafal hadis) yang meneliti jalan-jalannya (jalur-jalur periwayatan hadis).
Penjelasan di atas adalah kelaziman yang harus dilakukan seorang penerima hadis pada saat ia mendapatkan informasi bahwa suatu hadis itu dha'if (lemah), di mana ia tidak serta merta langsung menyatakan hukum dha'if secara mutlak, apalagi menyatakan bahwa hadis dha'if tersebut tidak boleh diamalkan atau dijadikan hujjah atau dalil.
Hadis dha'if berbeda dari hadis maudhu' (palsu). Hadis dha'if tetap harus diakui sebagai hadis, dan menjadikannya sebagai dalil atau dasar untuk melakukan suatu amalan kebaikan yang berkaitan dengan fadha'il al-a'mal (keutamaan amalan) adalah sah menurut kesepakan para ulama hadis. Perhatikan isyarat-isyarat para ulama berikut ini:
مع أنهم أجمعوا على جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال (شرح سنن ابن ماجه ج: 1 ص: 98)
"… sementara mereka (para ahli hadis) telah berijma' (bersepakat) atas bolehnya mengamalkan hadis dha'if (lemah) di dalam fadha'il al-a'mal (keutamaan amalan)" (lihat Syarh Sunan Ibnu Majah, juz 1, hal. 98).
باب التشدد في أحاديث الأحكام والتجوز في فضائل الأعمال. قد ورد واحد من السلف انه لا يجوز حمل الأحاديث المتعلقة بالتحليل والتحريم الا عمن كان بريئا من التهمة بعيدا من الظنة واما أحاديث الترغيب والمواعظ ونحو ذلك فإنه يجوز كتبها عن سائر المشايخ (الكفاية في علم الرواية، الخطيب البغدادي، ج. 1، ص. 133)
"Bab bersikap ketat pada hadis-hadis hukum, dan bersikap longgar pada fadha'il al-a'mal. Telah datang satu pendapat dari seorang ulama salaf bahwasanya tidak boleh membawa hadis-hadis yang berkaitan dengan penghalalan dan pengharaman kecuali dari orang (periwayat) yang terbebas dari tuduhan, jauh dari dugaan. Adapun hadis-hadis targhib (stimulus/anjuran) dan mawa'izh (nasehat) dan yang sepertinya, maka boleh menulisnya (meriwayatkannya) dari seluruh masyayikh (para periwayat hadis)" (lihat al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtishar 'Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, hal. 85).
قال: ويجوز رواية ما عدا الموضوع في باب الترغيب والترهيب، والقصص والمواعظ، ونحو ذلك، إلا في صفات الله عز وجل، وفي باب الحلال والحرام. (الباعث الحثيث شرح اختصار علوم الحديث للحافظ ابن كثير، أحمد مجمد شاكر، دار الكتب العلمية، ص. 85)
"(Ibnu Katsir) berkata: 'Dan boleh meriwayatkan selain hadis maudhu' (palsu) pada bab targhib (stimulus/anjuran) dan tarhib (ancaman), kisah-kisah dan nasehat, dan yang seperti itu, kecuali pada sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla dan pada bab halal & haram"(lihat al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtishar 'Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, hal. 85).
Dan banyak lagi pernyataan-pernyataan ulama hadis tentang hal tersebut yang tidak mungkin disebutkan keseluruhannya di sini.
Kaitannya dengan pembahasan bid'ah adalah bahwa kaum Salafi & Wahabi terkesan mudah mengkategorikan suatu amalan sebagai bid'ah, atau minimal sebagai amalan yang harus dihindari hanya karena hadis yang dijadikan dalil untuk itu mereka anggap dha'if. Padahal, amalan-amalan yang didasari oleh hadis-hadis dha'if tersebut tergolong fadha'il al-a'mal (keutamaan amalan) atau furu' (perkara cabang) yang bukan pokok di dalam penentuan hukum agama. Contohnya, hadis-hadis yang dijadikan dalil untuk menghadiahkan pahala bacaan al-Qur'an kepada mayit. Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi menyatakan:
واستدلوا على الوصول، وبالقياس على ما تقدم من الدعاء والصدقة والصوم والحج والعتق، فإنه لا فرق في نقل الثواب بين أن يكون عن حج أو صدقة أو وقف أو دعاء أو قراءة، وبالأحاديث الآتي ذكرها، وهي وإن كانت ضعيفة، فمجموعها يدل على أن لذلك أصلا، وبأن المسلمين ما زالوا في كل عصر، يجتمعون ويقرؤون لموتاهم من غير نكير، فكان ذلك إجماعا. ذكر ذلك كله الحافظ شمس الدين بن عبد الواحد المقدسي الحنبلي في جزء ألفه في المسألة. (شرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور، الحافظ جلال الدين السيوطي، دار الفكر، بيروت، ص. 269)
"Dan mereka (jumhur ulama) mengambil dalil atas sampainya (hadiah pahala kepada mayit), dan dengan qiyas kepada apa yang telah disebutkan daripada do'a, sedekah, puasa, haji, dan memerdekakan budak, maka sesungguhnya tidak ada beda dalam hal memindahkan pahala antara entahkah amalan itu haji, sedekah, wakaf, do'a, atau bacaan al-Qur'an. Dan dengan hadis-hadis yang akan disebutkan, meskipun dha'if, maka semuanya menunjukkan bahwa hal tersebut (menghadiahkan pahala kepada mayit) memiliki asal (landasan di dalam agama), dan bahwa kaum muslimin di setiap masa masih terus berkumpul dan membacakan al-Qur'an untuk mayit-mayit mereka tanpa ada yang mengingkarinya, maka menjadilah hal itu sebagai ijma'. Semua itu telah disebutkan oleh al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi al-Hanbali di dalam sebuah juz yang ia tulis tentang masalah tersebut." (Lihat Syarh al-Shudur bi Syarh Hal al-Mauta wa al-Qubur, al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi, Dar el-Fikr, Beirut, hal. 269).
Demikianlah contoh kearifan para ulama hadis dalam menilai dan menyikapi dalil-dalil yang secara zhahir dianggap dha'if. Sayangnya sikap seperti ini tidak ditiru oleh orang-orang yang gemar sekali menuduh bid'ah setiap perkara baru berbau agama. Terkadang bermodalkan sedikit pengetahuan tentang tahqiq al-hadits (penelitian hadis) mereka dengan mudahnya mencampakkan suatu amalan ke dalam keranjang bid'ah sesat hanya karena mereka nilai dalilnya dha'if (lemah).
Ini adalah sebuah masalah yang kerapkali muncul di kalangan para pelajar ilmu hadis, terutama bagi mereka yang baru merasa bisa meneliti hadis sendiri. Yang kemudian menambah masalah tersebut semakin tidak karuan adalah ketika dalam menyebutkan kedha'ifan hadis tersebut, orang-orang tersebut sering mendasarinya dengan penilaian hadis menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani yang kredibilitasnya tidak diakui oleh para ulama hadis, sebagaimana akan dibahas setelah ini.
2. Kedudukan Syaikh Nashiruddin al-Albani Dalam Menilai Hadis
Syaikh Nashiruddin al-AlBani adalah nama yang tidak asing di kalangan para pelajar ilmu hadis belakangan ini. Namanya banyak dicantumkan oleh para penulis buku-buku Islam (terutama yang berpaham Salafi & Wahabi) saat mengomentari suatu hadis. Karya-karyanya juga sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh para pengagumnya, sehingga namanya kini juga banyak didapati di toko-toko buku dan stan-stan pameran buku, berhubung penerbit-penerbit buku atau majalah berhaluan Salafi & Wahabi belakangan sudah semakin menjamur.
Akan tetapi, tahukah anda, bahwa sesungguhnya kepiawaian Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam menilai hadis diragukan oleh para ulama hadis, bahkan cenderung tidak diakui, menimbang bahwa beliau tidak memiliki jalur keilmuan yang jelas dalam bidang tersebut. Lebih jelasnya, penulis akan menyebutkan sekelumit gambaran tentang pribadi Syaikh al-Albani ini sebagaimana ditulis oleh Tim Bahtsul Masa'il PCNU Jember di dalam buku Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik" (H. Mahrus Ali), halaman 245-247 sebagai berikut:
Dewasa ini tidak sedikit di antara pelajar Ahlussunnah Waljama'ah yang tertipu dengan karya-karya al-Albani dalam bidang ilmu hadits, karena belum mengetahui siapa sebenarnya al-Albani itu. Pada mulanya, al-Albani adalah seorang tukang jam. Ia memiliki kegemaran membaca buku. Dari kegemarannya ini, ia curahkan untuk mendalami ilmu hadits secara otodidak, tanpa mempelajari hadits dan ilmu agama yang lain kepada para ulama, sebagaimana yang menjadi tradisi ulama salaf dan ahli hadits. Oleh karena itu al-Albani tidak memiliki sanad hadits yang mu'tabar (diakui-red). Kemudian ia mengaku sebagai pengikut salaf, padahal memiliki akidah yang berbeda dengan mereka, yaitu aqidah Wahhabi dan tajsim (menafsirkan ayat-ayat tentang fisik Allah apa adanya-red).
Oleh karena akidah al-Albani yang berbeda denga akidah ulama ahli hadits dan kaum Muslimin, maka hadits-hadits yang menjadi hasil kajiannya sering bertentangan dengan pandangan ulama ahli hadits. Tidak jarang al-Albani menilai dha'if dan maudhu' terhadap hadits-hadits yang disepakati keshahihannya oleh para hafizh, hanya dikarenakan hadits tersebut berkaitan dengan dalil tawassul. Salah satu contoh misalnya, dalam kitabnya al-Tawassul Anwa'uhu wa Ahkamuhu (cet. 3, hal. 128), al-Albani mendha'ifkan hadits Aisyah Ra. yang diwayatkan oleh ad-Darimi dalam al-Sunan-nya, dengan alasan dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi yang bernama Sa'id bin Zaid, saudara Hammad bin Salamah. Padahal dalam kitabnya yang lain, al-Albani sendir telah menilai Sa'id bin Zaid ini sebagai perawi yang hasan (baik) dan jayyid (bagus) haditsnya yaitu dalam kitabnya Irwa' al-Ghalil (5/338).
Di antara Ulama Islam yang mengkritik al-Albani adalah al-Imam al-Jalil Muhammad Yasin al-Fadani penulis kitab al-Durr al-Mandhud Syarh Sunan Abi Dawud dan Fath al-'Allam Syarh Bulugh al-Maram; al-Hafizh Abdullah al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdul Aziz al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdullah al-Harari al-Abdari dari Lebanon pengarang Syarh Alfiyah al-Suyuthi fi Mushthalah al-Hadits; al-Muhaddits Mahmud Sa'id Mamduh dari Uni Emirat Arab pengarang kitab Raf'u al-Manarah li-Takhrij Ahadits al-Tawassul wa al-Ziyarah; al-Muhaddits Habiburrahman al-A'zhami dari India; Syaikh Muhammad bin Ismail al-Anshari seorang peniliti Komisi Tetap Fatwa Wahhabi dari Saudi Arabia; Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Khazraji menteri agama dan wakaf Uni Emirat Arab; Syaikh Badruddin Hasan Dayyab dari Damaskus; Syaikh Muhammad Arif al-Juwaijati; Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf dari Yordania; al-Imam al-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dari Mekkah; Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin dari Najd (ulama Wahabi-red) yang menyatakan bahwa al-Albani tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali; dan lain-lain. Masing-masing ulama tersebut telah mengarang bantahan terhadap al-Albani (sebagian dari buku-buku al-Albani dan bantahannya ada pada perpustakaan kami [Tim PCNU Jember-red]).
Tulisan Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal al-Albani tersebut. Beliau mencatat seribu lima ratus (1500) kesalahan yang dilakukan al-Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian ilmiah beliau, ada tujuh ribu (7000) kesalahan fatal dalam buku-buku yang ditulis al-Albani. Dengan demikian, apabila mayoritas ulama sudah menegaskan penolakan tersebut, berarti Nashiruddin al-Albani itu memang tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan.
Kenyataan tersebut di atas juga diakui oleh Syaikh Yusuf Qardhawi di dalam tanggapan beliau terhadap al-Albani yang mengomentari hadis-hadis di dalam kitab beliau berjudul al-Halal wal-Haram fil-Islam, sebagai berikut:
Oleh sebab itu, penetapan Syaikh al-Albani tentang dha'if-nya suatu hadits bukan merupakan hujjah yang qath'I (pasti-red) dan sebagai kata pemutus. Bahkan dapat saya katakan bahwa Syaikh al-Albani hafizhahullah kadang-kadang melemahkan suatu hadits dalam satu kitab dan mengesahkannya (menshahihkannya-red) dalam kitab lain. (Lihat Halal dan Haram , DR. Yusuf Qardhawi, Robbani Press, Jakarta, 2000, hal. 417).
Syaikh Yusuf Qardhawi juga banyak menghadirkan bukti-bukti kecerobohan al-Albani dalam menilai hadis yang sekaligus menunjukkan sikapnya yang "plin-plan", sehingga hasil penelitiannya terhadap hadis sangat diragukan dan tidak dapat dijadikan pedoman. Belum lagi bila menilik fatwa-fatwa al-Albani yang kontroversial, maka semakin tampaklah cacat yang dimilikinya itu.
Di antara fatwa-fatwa al-Albani yang kontroversial itu sebagaimana disebut di dalam buku Membongkar Kebohongan Buku "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik" (H. Mahrus Ali), halaman 241-245 adalah :
1. Mengharamkan memakai cincin, gelang, dan kalung emas bagi kaum wanita
2. Mengharamkan berwudhu dengan air yang lebih dari satu mud (sekitar setengah liter) dan mengharamkan mandi dengan air yang lebih dari lima mud (sekitar tiga liter).
3. Mengharamkan shalat malam melebihi 11 raka'at.
4. Mengharamkan memakai tasbih (penghitung) untuk berdzikir.
5. Melarang shalat tarawih melebihi 11 raka'at.
Ada pula fatwa-fatwanya yang nyeleneh, seperti: Menganggap adzan kedua di hari Jum'at sebagai bid'ah yang tidak boleh dilakukan (lihat al-Ajwibah al-Nafi'ah), menganggap bid'ah berkunjung kepada keluarga dan sanak famili pada saat hari raya, mengharuskan warga Muslim Palestina agar keluar dari negeri mereka dan menganggap yang masih bertahan di Palestina adalah kafir (lihat Fatawa al-Albani, dikumpulkan oleh 'Ukasyah Abdul Mannan, hal. 18), mengajak kaum Muslimin untuk membongka al-Qubbah al-Khadhra' (kubah hijau yang menaungi makan Rasulullah Saw.) dan mengajak mengeluarkan makan Rasulullah Saw. dan Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar ke lokasi luar Masjid Nabawi (lihat Tahdzir al-Sajid min Ittikhadz al-Qubur Masajid, hal. 68), dan bahkan al-Albani berani menyatakan secara bahwa sikap Imam Bukhari dalam menta'wil sebuah ayat di dalam kitab Shahih Bukhari adalah sikap yang tidak pantas dilakukan seorang Muslim yang beriman (artinya secara tidak langsung ia telah menuduh al-Bukhari kafir dengan sebab ta'wilnya tersebut) (lihat Fatawa al-Albani, hal. 523).
Jadi, setelah mengetahui kenyataan yang sedemikian buruknya tentang kredibilitas al-Albani dalam kegemarannya mengomentari hadis-hadis Rasulullah Saw. yang terdapat di berbagai kitab para ulama, maka orang-orang berakal sehat tidak akan lagi memandang "pantas" untuk menjadikan karya-karya al-Albani sebagai rujukan ilmiah, apalagi dalam rangka memvonis suatu amalan sebagai bid'ah hanya karena dalilnya didha'ifkan oleh al-Albani. Kejanggalan al-Albani itu bahkan juga dirasakan oleh ulama Wahabi seperti al-'Utsaimin dan yang lainnya, sehingga para pengikut Salafi & Wahabi (terutama yang ada di Indonesia) tidak sepantasnya mengunggulkan karya-karya al-Albani, apalagi menerbitkan dan menyebarluaskannya.