http://www.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=5&func=view&id=11250&catid=8&lang=en
Penjelasan Habib Munzir Al-MusawaSaudaraku yg kumuliakan,mengenai keberadaan negara kita di indonesia
ini adalah bermadzhabkan syafii, demikian guru guru kita dan guru guru
mereka, sanad guru mereka jelas hingga Imam syafii, dan sanad mereka
muttashil hingga Imam Bukhari, bahkan hingga Rasul saw, bukan orang
orang masa kini yg mengambil ilmu dari buku terjemahan lalu berfatwa
untuk memilih madzhab semaunya, anda benar, bahwa kita mesti
menyesuaikan dengan keadaan, bila kita di makkah misalnya, maka madzhab
disana kebanyakan hanafi, dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah
Maliki, selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi
fitnah dan dianggap lain sendiri, beda dengan sebagian muslimin masa
kini yg gemar mencari yg aneh dan beda, tak mau ikut jamaah dan
cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yg lain,hal ini
adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan kondisi
masyarakat.
memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun
bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul
waajib illa bihi fahuwa wajib.yaitu apa apa yg mesti ada sebagai
perantara untuk mencapai hal yg wajib, menjadi wajib hukumnya.
misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun
bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yg ada hanyalah air
yg harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?,
dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk shalat yg
wajib.
demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun
karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita
hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum
ibadah kecuali menelusuri fatwa yg ada di imam imam muhaddits terdahulu,
maka bermadzhab menjadi wajib,karena kita tak bisa beribadah hal hal yg
fardhu / wajib kecuali dengan
mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.
dan berpindah pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai
situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia
berkeras kepala dg madzhab syafii nya,demikian pula bila ia berada di
indonesia, wilayah madzhab syafiiyyun, tak sepantasnya ia berkeras
kepala mencari madzhab lain.kita tak bisa beribadah hal hal yg fardhu /
wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab
menjadi wajib hukumnya.
Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika zeyd dan amir sedang
berwudhu, lalu keduanya kepasar, dan masing masing membeli sesuatu di
pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka
zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu,ketika zeyd bertanya pada amir,
mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?,maka
amir berkata : “aku bermadzhabkan Maliki dan madzhab Maliki tak batal
wudhu bila bersentuhan dengan wanita”,maka zeyd berkata : “wudhu mu itu
tak sah dalam madzhab malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii!,
karena madzhab maliki mengajarkan wudhu harus menggosok anggota wudhu,
tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab syafii,
yaitu mengusap,dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil
madzhab maliki, maka bersuci mu kini tak sah secara maliki dan telah
batal pula dalam madzhab syafii..”.
Demikian contoh kecil dari kesalahan orang yg mengatakan bermadzhab
tidak wajib.mengenai ucapan para Imam Imam itu adalah untuk kalangan
para mujtahid, mereka yg sudah melewati derajat Al Hafidh, yaitu pakar
hadits, yaitu yg telah hafal 100.000 hadits berikut sanad dan hukum
matannya, maka selayaknya jangan sembarang mengekor saja, tapi lihat
dulu sumber sumbernya yg benar, karena ia ahli dalam hadits, maksudnya
adalah barangkali ada hal yg perlu dibenahi dari
imam imam itu maka benahilah..
sebagaimana Imam Bukhari, ia hafal 600.000 hadits berikut sanad dan
hukum matannya saat usianya belum mencapai 20 tahun, orang seperti ini
mesti terjun untuk meneliti hadits, jangan ikut ikutan fatwa para Imam
Imam lainnya karena ia mengerti tentang hukum hadits.beda dengan salafy
konyol masa kini, mereka tak hafal satupun hadits disertai sanad dan
hukum matannya, karena satu hadits pendek saja kalau disertai sanad dan
hukum matannya bisa jadi dua halaman panjangnya, dan mereka wahabi itu
tak hafal satupun hadits berikut sanad dan hukum matannya, mereka cuma
nukil dari buku buku yg ada.
Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1.000.000 (satu juta) hadits berikut
sanad dan hukum matannya, dan ia adalah murid Imam Syafii.anda bisa
bayangkan Jika Imam Ahmad hafal 1 juta hadits namun ia hanya sempat
menulis sekityar 20 ribu hadits saja, maka sekitar 980.000 hadits yg ada
padanya sirna ditelan zaman, Imam Bukhari hanya mampu menulis sekitar
7.000 hadits saja, lalu sekitar
593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman, maka yg tersisa adalah fatwa
fatwa mereka pada murid murid mereka, lalu kita akan ikut siapa?akankah
kita berpegang pada buku hadits yg ada di masa kini yg tidak mencapai
1% dari hadits yg ada dimasa lalu?, atau berpegang pada fatwa fatwa
murid murid
para imam itu yg telah lengkap menjawab seluruh cabang masalah..?
kita harus mengikuti siapa?tentunya kita mengikuti para Imam itu
karena tahu betul merekalah ahli hadits, kita tak tahu ratusan atau
jutaan hadits itu karena sudah tidak ada.kalau kita bandingkan maka
pendapat para wahabi itu mereka ingin membuat madzhab baru dengan
patokan 1% hadits yg ada, dan menjatuhkan fatwa para imam imam tsb?
albani tidak sampai ke derajat Alhafidh (hafal 100.000 hadits dengan
sanad dan hukum matannya), ia hanya menukil nukil, dan ia sendiri tak
punya sanad hadits, ia hanya baca dari sisa sisa hadits yg ada lalu
berfatwa menentang para Imam Ahlussunnah waljamaah.
dibawah Imam Syafii ada ribuan AL Hafidh yg menelusuri fatwa Imam
Syafii dan setuju, dibawah Imam Ahmad bin Hanbal dan para imam imam
lainnya pun demikian..inilah hebatnya Imam Imam Ahlussunnah waljamaah,
semua berasal dari satu rumpun, Imam Ahmad bin Hanbal adalah murid Imam
Syafii, dan Imam Syafii adalah murid Imam Malik, dan Imam Malik adalah
sezaman dengan Imam Hanafi, keduanya belajar dari Tabiin dan sahabat
Rasul saw, dan para sahabat berguru pada
Rasulullah saw.demikian ribuan para Hafidhul Hadits dari generasi ke generasi hingga kini
dalam satu rumpun besar ahlussunnah waljamaah.muncullah sempalan pada
akhir zaman ini yg menentang mereka, dan memisahkan diri dari Rumpun
besar Ahlussunnah waljamaah dari 4 madzhab besar ini, dan Rasul saw
bersabda : “Barangsiapa yg memisahkan diri dari Jamaah Muslimin
sejengkal saja, lalu ia wafat maka ia mati dalam kematian jahiliyyah” (Shahih Bukhari)
demikian saudaraku yg kumuliakan.,
wallahu a’lam
Penjelasan Habib Munzir Al-MusawaSaudaraku yg kumuliakan,mengenai keberadaan negara kita di indonesia
ini adalah bermadzhabkan syafii, demikian guru guru kita dan guru guru
mereka, sanad guru mereka jelas hingga Imam syafii, dan sanad mereka
muttashil hingga Imam Bukhari, bahkan hingga Rasul saw, bukan orang
orang masa kini yg mengambil ilmu dari buku terjemahan lalu berfatwa
untuk memilih madzhab semaunya, anda benar, bahwa kita mesti
menyesuaikan dengan keadaan, bila kita di makkah misalnya, maka madzhab
disana kebanyakan hanafi, dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah
Maliki, selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi
fitnah dan dianggap lain sendiri, beda dengan sebagian muslimin masa
kini yg gemar mencari yg aneh dan beda, tak mau ikut jamaah dan
cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yg lain,hal ini
adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan kondisi
masyarakat.
memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun
bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul
waajib illa bihi fahuwa wajib.yaitu apa apa yg mesti ada sebagai
perantara untuk mencapai hal yg wajib, menjadi wajib hukumnya.
misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun
bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yg ada hanyalah air
yg harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?,
dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk shalat yg
wajib.
demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun
karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita
hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum
ibadah kecuali menelusuri fatwa yg ada di imam imam muhaddits terdahulu,
maka bermadzhab menjadi wajib,karena kita tak bisa beribadah hal hal yg
fardhu / wajib kecuali dengan
mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.
dan berpindah pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai
situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia
berkeras kepala dg madzhab syafii nya,demikian pula bila ia berada di
indonesia, wilayah madzhab syafiiyyun, tak sepantasnya ia berkeras
kepala mencari madzhab lain.kita tak bisa beribadah hal hal yg fardhu /
wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab
menjadi wajib hukumnya.
Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika zeyd dan amir sedang
berwudhu, lalu keduanya kepasar, dan masing masing membeli sesuatu di
pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka
zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu,ketika zeyd bertanya pada amir,
mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?,maka
amir berkata : “aku bermadzhabkan Maliki dan madzhab Maliki tak batal
wudhu bila bersentuhan dengan wanita”,maka zeyd berkata : “wudhu mu itu
tak sah dalam madzhab malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii!,
karena madzhab maliki mengajarkan wudhu harus menggosok anggota wudhu,
tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab syafii,
yaitu mengusap,dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil
madzhab maliki, maka bersuci mu kini tak sah secara maliki dan telah
batal pula dalam madzhab syafii..”.
Demikian contoh kecil dari kesalahan orang yg mengatakan bermadzhab
tidak wajib.mengenai ucapan para Imam Imam itu adalah untuk kalangan
para mujtahid, mereka yg sudah melewati derajat Al Hafidh, yaitu pakar
hadits, yaitu yg telah hafal 100.000 hadits berikut sanad dan hukum
matannya, maka selayaknya jangan sembarang mengekor saja, tapi lihat
dulu sumber sumbernya yg benar, karena ia ahli dalam hadits, maksudnya
adalah barangkali ada hal yg perlu dibenahi dari
imam imam itu maka benahilah..
sebagaimana Imam Bukhari, ia hafal 600.000 hadits berikut sanad dan
hukum matannya saat usianya belum mencapai 20 tahun, orang seperti ini
mesti terjun untuk meneliti hadits, jangan ikut ikutan fatwa para Imam
Imam lainnya karena ia mengerti tentang hukum hadits.beda dengan salafy
konyol masa kini, mereka tak hafal satupun hadits disertai sanad dan
hukum matannya, karena satu hadits pendek saja kalau disertai sanad dan
hukum matannya bisa jadi dua halaman panjangnya, dan mereka wahabi itu
tak hafal satupun hadits berikut sanad dan hukum matannya, mereka cuma
nukil dari buku buku yg ada.
Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1.000.000 (satu juta) hadits berikut
sanad dan hukum matannya, dan ia adalah murid Imam Syafii.anda bisa
bayangkan Jika Imam Ahmad hafal 1 juta hadits namun ia hanya sempat
menulis sekityar 20 ribu hadits saja, maka sekitar 980.000 hadits yg ada
padanya sirna ditelan zaman, Imam Bukhari hanya mampu menulis sekitar
7.000 hadits saja, lalu sekitar
593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman, maka yg tersisa adalah fatwa
fatwa mereka pada murid murid mereka, lalu kita akan ikut siapa?akankah
kita berpegang pada buku hadits yg ada di masa kini yg tidak mencapai
1% dari hadits yg ada dimasa lalu?, atau berpegang pada fatwa fatwa
murid murid
para imam itu yg telah lengkap menjawab seluruh cabang masalah..?
kita harus mengikuti siapa?tentunya kita mengikuti para Imam itu
karena tahu betul merekalah ahli hadits, kita tak tahu ratusan atau
jutaan hadits itu karena sudah tidak ada.kalau kita bandingkan maka
pendapat para wahabi itu mereka ingin membuat madzhab baru dengan
patokan 1% hadits yg ada, dan menjatuhkan fatwa para imam imam tsb?
albani tidak sampai ke derajat Alhafidh (hafal 100.000 hadits dengan
sanad dan hukum matannya), ia hanya menukil nukil, dan ia sendiri tak
punya sanad hadits, ia hanya baca dari sisa sisa hadits yg ada lalu
berfatwa menentang para Imam Ahlussunnah waljamaah.
dibawah Imam Syafii ada ribuan AL Hafidh yg menelusuri fatwa Imam
Syafii dan setuju, dibawah Imam Ahmad bin Hanbal dan para imam imam
lainnya pun demikian..inilah hebatnya Imam Imam Ahlussunnah waljamaah,
semua berasal dari satu rumpun, Imam Ahmad bin Hanbal adalah murid Imam
Syafii, dan Imam Syafii adalah murid Imam Malik, dan Imam Malik adalah
sezaman dengan Imam Hanafi, keduanya belajar dari Tabiin dan sahabat
Rasul saw, dan para sahabat berguru pada
Rasulullah saw.demikian ribuan para Hafidhul Hadits dari generasi ke generasi hingga kini
dalam satu rumpun besar ahlussunnah waljamaah.muncullah sempalan pada
akhir zaman ini yg menentang mereka, dan memisahkan diri dari Rumpun
besar Ahlussunnah waljamaah dari 4 madzhab besar ini, dan Rasul saw
bersabda : “Barangsiapa yg memisahkan diri dari Jamaah Muslimin
sejengkal saja, lalu ia wafat maka ia mati dalam kematian jahiliyyah” (Shahih Bukhari)
demikian saudaraku yg kumuliakan.,
wallahu a’lam